Ada 3 pilihan sejarah bagi keturunan marga Nasution dimanapun berada, yaitu:
1. Versi Melayu
Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyung (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.
Dalam perjalanan menjelajahi pulau
2. Versi Batak
Dari segala Marga-marga tersebut, yang pertama menduduki tanah Batak selatan adalah kelompok Marga Lubis. Sudah sejak lebih 60 generasi meninggalkan Danau Toba. Orang-orang Marga Lubis semula bertempat tinggal di Toba dekat ke Balige yang sekarang dan di Uluan dekat ke Narumonda yang sekarang. Orang-orang Marga lubis yang merantau hanyalah minoritas dan yang tinggal adalah mayoritas. Akan tetapi, pada tahun 1818 orang-orang marga Lubis di Toba diperangi dengan pedang oleh tentara Paderi. Sejak itulah orang-orang Marga Lubis di Toba menjadi minoritas dan orang-orang Marga Lubis yang merantau ke Mandailing menjadi mayoritas.
Sebelum orang-orang Marga Lubis datang migrasi dari Toba dan memasuki daerah Mandailing sambil membakari hutan-hutan, di Natal dan Singkuang sudah ada sekelompok masyarakat yang berbahasa Minangkabau/dialek Pesisir. Kelompok masyarakat itu terdiri dari beberapa populasi dan warna kulit dari dalam dan luar kepulauan
Di bawah pimpinan orang-orang Bugis, kelompok masyarakat itu bergerak sepanjang sungai Batang Gadis untuk membendung malapetaka di pedalaman akibat perbuatan Marga Lubis yang terus membakari hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Mereka melalui jalan yang telah dilewati oleh Marga Lubis tapi belum dilalui oleh Marga Harahap.
Kelompok tersebut banyak kawin dengan anak-anak gadis Marga Lubis dan Harahap.
3. Versi Mandailing
Alkisah tersebutlah suatu riwayat, pada suatu hari, pergilah Sutan Pulungan Raja Huta Bargot yang tersebut berburu rusa, dengan beberapa pengiringnya. Takdir Allah menyalaklah anjingnya yang bernama Sampaga-Tua, maka berebutlah segala pengiringnya mengejar perburuan itu, tiba-tiba dilihat mereka itu kiranya seorang anak laki-laki yang disalak anjing itu terletak di atas batu yang dibungkus dengan kain sutera pelangi di bawah pohon kayu beringin.
Kata setengah riwayat, sebab si Sauwa tiada mempunyai air susu, maka di susukannyalah anak itu kepada seekor anjing yang sedang menyusukan anaknya, tempat itu di namai (baroar), sebab itulah anak itu dinamai Baroar, tetapi setengah riwayat Baroar itu diambil dari pada nama seorang laki-laki yang dijadikan pengasuhnya anak itu, maka Baroarpun semakin hari semakin besar.
Kata sahibulhikayat, Sutan Pulungan ada mempunyai seorang anak laki- laki yang sama besar dan serupa dengan Baroar, bagai pinang dibelah dua, sebab itulah acap kali orang kampung dan hamba-hambanya sesat memberi hormat dan memberi makan, oleh kerena itulah mendatangkan cemburu kepada Sutan Pulungan dan isterinya.
Hatta pada suatu hari, waktu Sutan Pulungan hendak menegakkan istana, maka diperintahkannya, supaya Baroar dijadikan alas tiang di bosur (tiang tua) istana itu, dan diberi tanda dengan coreng sadah dikening Baroar. Takdir Allah anak Sutan Pulungan mencoreng keningnya pula dengan sadah, seperti coreng kening Baroar.
Setelah Si Sauwa mendengar kabar behwa Baroar akan dijadikan alas tiang tua istana, maka dengan segera dibawanya lari anak itu dan bersembunyi pada sebuah dangau sawah yang tinggal, yang sudah dibalut oleh akar-akar.
Jadi ditangkap oranglah anak Sutan Pulungan lalu dialaskannyalah ke tapakan tiang istana hingga mati. Waktu hendak makan, ributlah orang mencari anak Sutan Pulungan itu, maka tatkala ketahuan bahwa yang dialaskan itu anak Sutan Pulungan, maka orang carilah Baroar, tatkala mereka itu sampai hampir dangau tadi, maka barbunyilah burung ketitiren di atas pintu (bubungan) dangau itu, jadi pada persangkaan orang itu, tentu tiada orang di situ, bila ada orang, nyatalah ketitiren itu, tiada berani hinggap di situ, maka kembalilah mereka itu, sebab itulah segala keturunan Baroar marsabang (berpantang) makan burung ketitiren sampai kepada masa ini.
Baroarpun dibawa lari oleh si Sauwa ke seberang Aek Godang (Batang Gadis) sehingga damai porumahan itu “parbagasan babiat soboun”, itulah tempat perumahan istana Panyabungan Tonga yang sekarang.
Di situlah Baroar di gelar Sutan di Aru, dan merajai dua kampung yang dinamai anak ni Dolok anak ni Lombang. Tempat itulah pertengahan pada segenap kampung yang berkeliling di
Maka oleh kerena saktinyalah Baroar itu disebut orang suku Nasution. Adapun Sutan di Aru itu mempunyai seorang anak yang amat berbahagia ialah Baginda Mangaraja Enda, Baginda inilah jang mengembangkan dan memasyhurkan kerajaan Panyabungan.[1]
Menurut cerita rakyat Mandailing, suatu masa ditemukan sebuah keris di tengah rawa-rawa (Desa Gunung Tua sekarang), orang menganggap keris itu turun dari langit dan telah banyak orang mencoba untuk mengambilnya tapi tidak ada yang bisa mencabutnya dari tanah dan yang berhasil mencabut keris itu adalah Sutan di Aru. Begitu juga ketika orang Hutasiantar menemukan sebuah canang di rawa-rawa dekat Padang Mardia (Hutasiantar), yang sanggup mengambil dan membawanya pulang hanyalah Sutan di Aru atau Baroar. Karena kesaktiannya itulah dia dan keturunannya disebut Nasution Sibaroar.[2]
[1]Dja Endar Muda, Tambo Radja-Radja Mandailing, (http:// www.mandailing.org/
[2] Syahbuddin Pulungan (82 tahun), Wawancara, Kota Siantar, 14 Desember 2009.
[1] Mangaradja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanku Rao Terror Agama Islam Mazhab Hanbali di Tanah Batak , (
Tidak ada komentar:
Posting Komentar