Minggu, 03 Januari 2010

LARANGAN MENGHADIRI WALIMAH AL-‘URS PENGANUT PAHAM MUHAMMADIYAH BAGI MASYARAKAT
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Kasus Di Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara)

SKRIPSI
DIAJUKAN KEPADA FAKULTAS SYARI’AH UNTUK
MERAIH GELAR SARJANA HUKUM ISLAM

















OLEH;
ENDI HASAN
305 131








JURUSAN AHWAL ASY-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
IMAM BONJOL PADANG
1430 H/2009 M

OUT LINE
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Dan Batasan Masalah
C. Penjelasan Judul
D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
E. Metode Penelitian
F. Sistematika Penulisan

BAB II: WALIMAH AL-‘URS MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Walimah Al-‘Urs
B. Syarat Walimah Al-‘Urs
C. Hikmah Walimah Al-‘Urs

BAB III: GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Kelurahan Kota Siantar
B. Kondisi Penduduk Kelurahan Kota Siantar
a. Pendidikan
b. Agama
c. Sosial Ekonomi
d. Adat

BAB IV: PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP LARANGAN MENGHADIRI WALIMAH AL-‘URS PENGANUT PAHAM MUHAMMADIYAH
A. Pelaksanaan Walimah Al-‘Urs Menurut Paham Muhammadiyah
B. Sebab-Sebab Dilarang Menghadiri Walimah Al-‘Urs Penganut Paham Muhammadiyah Dan Sanksi Yang Ditetapkan
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Larangan Menghadiri Walimah Al-‘Urs Penganut Paham Muhammadiyah

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR KEPUSTAKAAN
LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Melakukan pekerjaan yang hukumnya sunat dalam pernikahan adalah merupakan suatu hal yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Walimah al-‘urs adalah perbuatan yang disunatkan dalam Islam maka tidak salah kalau umat Islam berlomba-lomba mengamalkannya guna mencapai ridha Allah dan pahala yang berlipat.
Walimah al-‘urs dilakukan ketika pelaksanaan akad nikah telah berlangsung dengan tujuan sebagai ungkapan rasa syukur sekaligus pemberitahuan kepada halayak ramai tentang rumah tangga baru dalam kehidupan masyarakat mereka. Meskipun Walimah al-‘urs itu adalah suatu perbuatan yang disunatkan namun tetap harus mengikuti aturan yang ditetapkan dalam ajaran Islam.
Menghadiri undangan Walimah al-‘urs adalah bagian dari ajaran Islam untuk dilaksanakan dalam kehidupan sosial bermasyarakat guna mencari ridha Allah SWT dan Rasul-Nya. Namun, menghadiri Walimah al-‘urs juga dapat menimbulkan rasa persaudaraan yang lebih kuat. Menghadiri undangan tersebut sangat ditekankan oleh Rasulullah dalam salah satu hadisnya, yaitu;
عن نافع، عن عبد الله اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى اَلْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Artinya: Dari Nafi', dari Abdullah bin Umar Radliyallaahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu diundang ke walimah, hendaknya ia menghadirinya.

Dari zhahir hadis ini dapat dipahami, bahwa menghadiri Walimah al-‘urs adalah satu kewajiban bagi umat Islam yang mendapatkan undangan dari penyelenggara Walimah al-‘urs tersebut. Jumhur ‘ulama juga berpendapat bahwa menghadiri undangan Walimah al-‘urs hukumnya wajib, kecuali ada udzur atau alasan syar’i yang menghalanginya untuk datang. Dalam hadis lain juga dijelaskan terkait orang yang tidak menghadiri undangan Walimah al-‘urs;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda; seburu-buruk makanan adalah makanan walimah yang dilarang padanya orang yang mau menghadirinya dan yang diundang adalah orang yang tidak mau menghadirinya. Dan siapa yang tidak mau memenuhi undangan itu maka ia telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. (HR Muslim)

Masyarakat Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara sejak dahulu telah terbentuk sistem masyarakat adat yang begitu kuat. Mengenai pelaksanaan Walimah al-‘urs juga tidak dapat dipisahkan dari adat kebiasaan masyarakat setempat sekalipun masih banyak yang menyalahi aturan agama menurut sebagian masyarakat.
Penganut paham Muhammadiyah mengadakan Walimah al-‘urs menururt Penulis sangat sederhana dengan tidak membedakan golongan sosial. Walimah al-‘urs dimulai sejak pagi hari sekitar jam 07.00 WIB dengan kegiatan memasak makanan untuk jamuan tengah hari. Para undangan dipersilahkan makan sebelum dan sesudah shalat Dzuhur. Selanjutnya nasehat dari seorang al-Ustadz terhadap kedua mempelai berlangsung sebelum shalat Dzuhur atau sekitar jam 10.00 WIB .
Perbedaan prosesi pelaksanaan Walimah al-‘urs ini pada awalnya tidak mengganggu ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat di Kelurahan tersebut dan hal itu berjalan beberapa tahun lamanya. Namun, ketenteraman itu mulai hilang sejak penganut paham Muhammadiyah mendirikan shalat Jum’at di Mesjid Taqwa Muhammadiyah Kelurahan Kota Siantar pada tanggal 10 Oktober 2008. Pada hari itu setelah shalat Jum’at, beberapa tokoh masyarakat dan pemuka agama bermusyawarah di Mesjid Jami’ Darussalam Kelurahan Kota Siantar membahas antisipasi terhadap pelaksanaan shalat Jum’at di Mesjid Taqwa Muhammadiyah. Dari hasil kesepakatan musyawarah itu terjadilah demonstrasi ke Mesjid Taqwa Muhammadiyah pada hari itu juga setelah shalat Jum’at berlangsung. Namun, demonstrasi itu akhirnya dibubarkan oleh beberapa oknum Polisi dari jajaran Polsek Panyabungan dengan bunyi tembakan peringatan ke atas.
Pertikaian itu semakin lama semakin meruncing sehingga persoalan ini dibawa ke hadapan pemerintah Kecamatan pada tanggal 27 oktober 2008 untuk mencari titik temu. Musyawarah itu dihadiri oleh perwakilan kedua belah pihak, Danramil, Kapolsek, dan Camat Penyabungan dengan hasil kesepakatan antara lain;
1. Perwakilan masyarakat menyetujui pelaksanaan sholat Jum’at di Mesjid Takwa Muhammadiyah Kelurahan Kota Siantar.
2. Pihak ranting Muhammadiyah Kelurahan Kota Siantar bersedia menerima sanksi yang diberikan masyarakat.
Penganut paham Muhammadiyah memperbanyak lembaran kesepakatan itu dan menyebarkan kepada anggotanya. Tapi, perwakilan masyarakat Kelurahan Kota Siantar tidak menyebarkannya dan menyetujui kesepakatan bersama tokoh masyarakat dan pemuka agama di Balai Kelurahan Kota Siantar pada tgl 16 oktober 2008, antara lain;
1. Warga Muhammadiyah boleh melaksanakan shalat Jum’at di Mesjid Takwa Muhammadiyah tapi, harus dikeluarkan dari sistem persatuan dan kesatuan yang dibuat selama ini seperti;
a. Keluar dari si Amir (tajhiz mait) yang dikelola Badan Kenadziran mesjid (BKM) Darussalam.
b. Keluar dari sistem Dalihan Natolu.
1) Kemalangan kematiannya tidak boleh diikuti.
2) Undangan horjanya (pesta perkawinan) tidak boleh dihadiri.
3) Dan tidak berhak dimakamkan di pemakaman yang ada kecuali mencari pemakaman sendiri.
2. Menutup saluran pipa air ke Mesjid Takwa Muhammadiyah.
3. Melarang warga Muhammadiyah berjualan di Pasar tradisional.
4. Menarik seluruh bentuk usaha kerja sama dengan warga Muhammadiyah.
5. siapa saja yang menolak kesepakatan ini maka ia dianggap Muhammadiyah.
Kesepakatan poin pertama memberi dampak yang sangat berpengaruh dalam pelaksanaan Walimah al-‘urs. Pelaksanaan dari poin pertama ini antara lain pemutusan urusan jenazah, dan tidak ada tolong menolong dan putusnya kekerabatan oleh pihak-pihak yang tersebut di atas. Namun, penganut paham Muhammadiyah tetap mengundang saudara-saudara kandungnya dan kerabat terdekat mereka, baik keluarga dari pihak ayah seperti paman dan bibi serta anak-anak maupun dari pihak keluarga ibu. Hal ini terbukti dalam beberapa kasus.
Pernikahan Edi Saputra (warga Muhammadiyah) misalnya, ia menikahi putri dari seorang tokoh adat bernama Enni Kholilah. Pada saat akad nikah tidak ada persoalan tapi, ketika keluarga Edi Saputra mengadakan Walimah al-‘urs satupun dari pihak keluarga mempelai wanita tidak ada yang hadir, seperti itu juga dari keluarga Edi Saputra. Walimah al-‘urs tersebut hanya dihadiri oleh warga Muhammadiyah dan undangan dari luar kampung.
Begitu juga yang di alami oleh Saukani (warga Muhammadiyah) ketika saudara perempuannya menikah dengan pria kampung sebelah. Saukani bersama ibunya menemui saudara-saudara dan kerabat mereka untuk mengundang agar datang ke Walimah al-‘urs kakaknya tapi, yang ia terima bersama ibunya hanyalah hinaan, ejekan dan kata-kata buruk dari saudara dan kerabatnya serta ungkapan bahwa mereka tidak pernah memiliki saudara kandung berpaham Muhammadiyah.
Pada kehidupan masyarakat awam terdapat beberapa keraguan tentang menghadiri Walimah al-‘urs tersebut, jika seseorang tidak menghadiri undangan Walimah al-‘urs itu ia takut mendapat dosa tapi, sebagian masyarakat takut mendapat sanksi sebagaimana yang diberikan terhadap warga Muhammadiyah jika datang menghadiri undangan Walimah al-urs tersebut.
Ikut prihatin atas konflik yang menimpa masyarakat kelurahan Kota Siantar serta ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan persoalan tersebut, mendorong Penulis untuk meneliti dari beberapa kasus yang terjadi di daerah itu serta menuangkannya dalam bentuk tulisan karya ilmiah (skripsi) dengan mengambil judul: Larangan Menghadiri Walimah Al-‘Urs Penganut Paham Muhammadiyah Bagi Masyarakat Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara).

B. Rumusan Dan Batasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Penelitian penulis ini akan menyelesaikan masalah-masalah serta menjawabnya dari apa yang terkandung dalam rumusan masalah di bawah ini, yaitu;
a. Apa alasan tokoh masyarakat dan pemuka agama melarang masyarakat menghadiri undangan Walimah al-‘urs penganut paham Muhammadiyah?
b. Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap larangan tokoh masyarakat dan pemuka agama untuk menghadiri undangan Walimah al-‘urs penganut pahan Muhammadiyah?
2. Batasan Masalah
Guna terarahnya penelitian ini maka dianggap perlu untuk menentukan batasan dari masalah yang sedang penulis bahas ini. Penulis membatasi undangan Walimah al-‘urs hanya pada undangan bagi masyarakat Kelurahan Kota Siantar dan memberikan batasan terhadap penganut paham Muhammadiyah hanya bagi yang berdomisili di Kelurahan Kota Siantar serta Walimah al-‘urs yang terjadi sejak munculnya larangan tersebut terhitung sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 .

C. Penjelasan Judul
Larangan : Peraturan yang melarang suatu perbuatan.
Menghadiri : Hadir, ada, datang, mengikuti ceramah, upacara dan sebagainya. Mengunjungi pertemuan atau rapat.
Walimah al-‘urs : Jamuan atau pesta. Walimah al-‘urs; Pesta perkawinan.
Peresmian perkawinan yang tujuannya untuk memberitahu khalayak ramai bahwa kedua pengantin telah resmi menjadi suami-istri.
Muhammadiyyah : Organisasi Islam yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah dan kemasyarakatan didirikan pada tanggal 18 Nopember 1912 bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H oleh pelopor pendirinya; Haji Ahmad Dahlan.
Hukum Islam : Seperangkat aturan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa maksud dari judul tulisan ini adalah, tinjauan hukum Islam terhadap peraturan yang melarang menghadiri pesta perkawinan penganut paham Muhammadiyah terhadap masyarakat Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara.

D. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Mencapai tujuan dalam penelitian ini merupakan langkah pasti bagi Penulis. Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
a. Untuk mengetahui dasar pertimbangan tokoh masyarakat dan pemuka agama dalam melarang masyarakat Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Penyabungan Kabupaten Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara menghadiri undangan Walimah al-‘urs penganut paham Muhammadiyah.
b. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam terhadap larangan menghadiri undangan Walimah al-‘urs penganut paham Muhammadiyah di Kelurahan Kota Siantar.
2. Kegunaan Penelitian
Tertarik dengan hal di atas, Penulis dalam hal ini akan mencari jawaban melalui suatu penelitian kasus. Hasil penelitian ini diharapkan memiliki tiga kegunaan, yaitu;
a. Secara Akademik, diharapkan dengan penelitian ini bagi Peneliti dapat meraih gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah serta dapat menambah referensi pada IAIN Imam Bonjol Padang secara khusus dan bagi Akademisi pada umumnya.
b. Dari segi kebijakan, penelitian ini dapat memberikan informasi kualitatif mengenai larangan menghadiri Walimah al-‘urs ketika berlangsungnya pernikahan. Dapat dipergunakan oleh masyarakat muslim, tokoh adat, pemuka agama di Kelurahan Kota Siantar serta pihak-pihak yang berkepentingan lainnya dalam merumuskan model pelaksanaan syari’at Islam dan kebijakan dakwah pada masyarakat majemuk.
c. Dari segi teori ilmu kemasyarakatan, dapat menambah perbendaharaan atau minimal dapat memperkaya informasi empirik yang aktual mengenai masalah tersebut, baik sebagai data perbandingan maupaun sekedar informasi tambahan dalam penelitian sejenis.

E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kasus sedangkan metode analisis datanya lebih ditekankan pada metode kualitatif melalui grounded reseach, yang memungkinkan Penulis langsung mencari dan mengumpulkan data tentang larangan menghadiri Walimah al-‘urs serta mempelajarinya tanpa harus terikat membuktikan benar atau tidaknya teori-teori yang pernah dikemukakan oleh para ahli terdahulu. Metode in dipandang sebagai metode dengan prosedur yang dapat menghasilkan data deskriptif.
Dalam pelaksanannya, penelitian ini menggunakan suatu teknik constant comparison, yaitu suatu usaha yang terus menerus dilakukan oleh Penulis untuk menumbuh kembangkan kategori-kategori dan konsep-konsep yang ada di lapangan berdasarkan kenyataan yang diperoleh sebagai bangunan analisis. Dengan demikian, metode ini lebih banyak dikuasai dalam pengembangan analisis yang muncul dilapangan. Data yang muncul diklasifikasikan berdasarkan kategori-kategori dan sebagainya. Metode ini sangat memungkinkan bagi Penulis dan memberikan interpretasi data yang ada.
2. Sumber Data
Data dalam penelitian ini akan diperoleh dari sekurang-kurangnya dua sumber, yaitu; (1) sumber lapangan dan (2) sumber dokumenter. Sumber lapangan, Penulis mendapatkan informasi dari informan dan responden. Informan terdiri dari masyarakat Kelurahan Kota Siantar Kecamatan Penyabungan, sedangkan responden terdiri dari para pemimpin formal (pemerintah) khususnya dari Kecamatan Penyabungan sampai tingkat-tingkat di bawahnya, tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat dan cendikiawan di Kelurahan Kota Siantar. Selain itu juga, akan dicari informasi banding tentang keadaan masyarakat Islam dari beberapa sumber serta pandangan para cendikiawan dari disiplin ilmu yang berkaitan.
Sumber dokumenter akan Penulis ambil dari berkas surat-surat yang terkait dengan penelitian ini dan file-file yang masih berada di lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitian ini seperti, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Kota Siantar, Badan Kenadziran Mesjid (BKM) Darussalam Kota Siantar, Kelurahan, Kecamatan dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dan dokumenter. Dokumenter sebagai data primer dalam penelitian ini maka Penulis akan mengumpulkan informasi berkenaan dengan proses larangan menghadiri Walimah al-‘urs di Kelurahan Kota Siantar, bentuk-bentuk sanksi yang ditetapkan dan jenis-jenis pelanggaran dari kesepakatan itu.
Sebagai data skunder, Penulis akan Melakukan wawancara mendalam untuk menggali informasi lebih mendalam mengenai pikiran informan serta responden mengenai Walimah al-‘urs yang mereka lakukan, hambatan-hambatan atau persoalan-pesoalan lain yang mereka hadapi berkaitan dengan larangan menghadiri Walimah al-‘usr penganut paham Muhammadiyah menurut presfektif mereka, atau dengan kata lain untuk mencari informasi empirik, informasi empirik tersebut akan diolah, ditafsirkan dan dianalisis sehingga melahirkan etika pandangan Penulis tentang data.

F. Sistematika Penulisan
Dalam tulisan karya ilmiah ini, Penulis mengemukakan sistematika penulisan adalah sebagai berikut; pada bab I Penulis memulai penulisan ini dengan membahas tentang Pendahuluan, di dalamnya terdapat beberapa pembahasan, yaitu; (a) Latar Belakang Masalah, (b) Rumusan dan Batasan Masalah, (c) Penjelasan Judul, (d) Tujuan dan Kegunaan Penelitian, (e) Metode Penelitian, (f) Sistematika Penulisan.
Mendalami tentang Walimah al-‘urs dan aturan-aturan yang terdapat di dalamnya, penulis jelaskan pada bab II tentang Walimah al-‘urs Menurut Hukum Islam, pada bab ini terdapat beberapa pembahasan, yaitu; (a) Pengertian dan Dasar Hukum Walimah al-‘urs, (b) Syarat Waliamah al-‘urs, (c) Hikmah Walimah al-‘urs.
Agar lebih jelas tentang daerah penelitian ini dilakukan, Penulis menjelaskan pada bab III tentang Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Terdapat di dalam bab III ini beberapa pembahasan, yaitu; (a) Letak Geografis Kelurahan Kota Siantar, (b) Kondisi Penduduk Kelurahan Kota Siantar; Pendidikan, Agama, Sosial Ekonomi dan Adat.
Penjelasan secara rinci terkait penelitian ini terdapat pada bab IV tentang Pandangan Hukum Islam Terhadap Larangan Menghadiri Walimah al-‘urs Penganut Paham Muhammadiyyah. Di dalamnya juga terdiri beberapa pembahasan, yaitu; (a) Pelaksanaan Walimah al-‘urs Menurut Paham Muhammadiyah, (b) Sebab-Sebab Dilarang Menghadiri Walimah al-‘urs Penganut Paham Muhammadiyah dan Sanksi yang Ditetapkan, (c) Pandangan Hukun Islam Terhadap Larangan menghadiri Walimah al-‘urs Penganut Paham Muhammadiyah.
Sebagai akhir dari tulisan ini, penulis mengakhiri dengan bab V tentang Penutup. Dalam penutup ini penulis memaparkan dua pembahasan, yaitu; (a) Kesimpulan dan, (b) Saran-saran.

BAB II
WALIMAH AL-‘URS
Tiap-tiap umat mempunyai tradisi-tradisi, akhlak dan kebiasaan tanpa melihat sisi baik dan buruknya. Secara umum, maka umat-umat itu konsisten dan taklid (mengekor) pada adat-adat yang diwariskan dari generasi ke generasi atau dia mengadopsi dari tradisi umat lain, lalu berpegang teguh dengannya dan menjaganya serta mereka memandang sebagai warisan nenek moyang.
Dan kenyataan ini, tidak dianggap asing oleh semua umat kecuali oleh umat Islam akan dianggap sangat aneh dan mengherankan. Bahkan mereka mengingkari dan membencinya. Karena mereka adalah umat yang beragama Islam dan syari’atnya itu kekal dan merupakan warisan. Apakah pantas Islam itu diturunkan kedudukannya sehingga sama dengan umat-umat lain yang kehidupan mereka tercampuri dengan berbagai macam kotoran.
Sungguh telah menyebar musibah taklid kepada orang-orang kafir di kalangan kaum muslimin, yang menyebabkan kerugian dan penyesalan, lebih-lebih dalam masalah perkawinan atau pengantin. Tidak menganggap resepsi pengantin selain untuk membebaskan perkara yang haram dan mengerjakan dosa-dosa besar, seperti minum khamar, menari, bercampurnya laki-laki dan perempuan, yang tidak syar’i, sehingga jadilah pesta perkawinan yang Islami dan sesuai syar’i terlupakan. Untuk itu, dalam hal ini Penulis akan menjelaskan terkait dengan Walimah al-‘urs pada tulisan ini.

A. Pengertian dan Dasar Hukum Walimah Al-‘urs
1. Pengertian Walimah al-'urs
Walimah Al-‘urs kalau dipisah menjadi ﺔﻣﻳﻠﻭ dan ﺲﺮﻌﻠﺍ dimana secara ethimology ﺔﻣﻳﻠﻭ berasal dari kata الولم (al-walmu) dengan fath huruf waw dan sukun huruf lam yang berarti berkumpul. Di dalam buku lisan al-'araby dijelaskan:
الوليمة: طعا م العرس والاملاك.
Walimah: adalah makanan pesta pernikahan.
Sebagian ulama menggunakan kata walimah itu untuk setiap jamuan makan, untuk setiap kesempatan mendapatkan kesenangan, hanya penggunaannya untuk kesempatan perkawinan lebih banyak. Berdasarkan pendapat ahli bahasa di atas untuk selain kesempatan perkawinan tidak digunakan kata walimah meskipun juga menghidangkan makanan, untuk acara jamuan makan untuk khitanan disebut: العذيرة atau الإعذار, sedangkan untuk jamuan waktu kelahiran anak disebut: الخرس atau الخرسة, untuk jamuan kembalinya orang yang hilang disebut: النقيعة dan kata العقيقة digunakan untuk sembelihan bagi anak yang telah lahir.
Sedangkan ﺲﺮﻌﻠﺍ dengan di-dhammahkan 'ain fi'ilnya serta huruf ra yang di-sukunkan berarti pesta perkawinan dan perkawinan itu sendiri. Bentuk jamaknya A'ras.
Al 'irsu dengan kasrah 'ain fi'ilnya. Dikatakan seorang laki-laki menjadi suami bagi seorang wanita. Seorang wanita menjadi istri bagi seorang laki-laki, keduanya adalah pasangan suami istri.
Al 'arus dengan fathah huruf 'ainnya, yaitu seorang wanita selama ia menjadi pengantin, begitu juga dengan laki-laki. Seorang wanita diistilahkan dengan 'Aruusah selama ia menjadi pengantin wanita.
Secara syar'i pengertian Walimah al-'urs dapat dilihat pada beberapa definisi. Dalam definisi yang terkenal di kalangan ulama Walimah al-'urs diartikan dengan perhelatan dalam rangka mensyukuri ni'mat Allah atas telah terlaksananya akad perkawinan dengan menghidangkan makanan. Walimah al-'urs mempunyai nilai tersendiri dalam kehidupan melebihi peristiwa lainnya. Oleh karena itu, Walimah al-'urs dibicarakan dalam setiap kitab fiqh.
وقال الشافعي وأصحابه : تقع الوليمة على كل دعوة تتخذ لسرور حادث من نكاح أو ختان وغيرهما
Menurut Imam Syafi'i dan para sahabatnya, kata walimah digunakan bagi semua undangan untuk mengungkapkan kegembiraan yang terjadi, baik berupa pernikahan, khitan maupun selain keduanya.
Ibnu Qudamah menjelaskan pengertian walimah:
الوليمة‏:‏ اسم للطعام في العرس خاصة‏,‏ لا يقع هذا الاسم على غيره
Walimah adalah istilah untuk jamuan dalam pernikahan secara khusus, istilah walimah tidak digunakan untuk yang lainnya.
Menurut pendapat Wahbah az-Zuhaily
الوليمة ( وهي طعام العرس أو كل طعام صنع لدعوة وغيرها)
Walimah adalah makanan pesta pernikahan atau setiap makanan yang dihidangkan untuk para undangan dan yang lainnya. Pendapat ini senada dengan apa yang uraikan oleh Sayid Sabiq.
Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, Walimah dalam bahasa Indonesia mengandung makna umum dan makna khusus. Makna umum; yaitu seluruh bentuk perayaan yang melibatkan orang banyak dan makna khusus; yaitu; Walimah al-'urs, peresmian perkawinan yang tujuannya untuk memberitahukan khalayak ramai bahwa kedua mempelai telah resmi menjadi suami istri. Sekaligus sebagai rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya perkawinan tersebut
Pengertian walimah menurut Nasyaruddin Thaha ialah; suatu tempat peresmian bagi perkawinan ke tengah-tengah masyarakat umum dan hari itu adalah hari bersejarah bagi kehidupan suami-istri untuk mengarungi samudera hidup dalam rumah tangga.
Para ulama berbeda dalam mengungkapkan makna yang terkandung dalam kata Walimah Al-'urs, namun perbedaan itu hanya dari segi lafaz sementara esensinya hanya berputar sekitar pesta pernikahan, hidangan makanan dan para undangan. Kalau penulis menggabungkan ketiganya maka Walimah Al-'urs adalah; pesta pernikahan yang diadakan oleh kedua mempelai sebagai tanda syukur dengan menghidangkan makanan untuk dinikmati oleh para undangan.
2. Dasar Hukum Walimah Al-'urs
a. Hukum Mengadakan Walimah Al-'urs
Resepsi pernikahan atau Walimah Al-'urs yang dilakukan oleh umat Islam harus mencontoh dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat-sahabatnya atau bisa saja Rasulullah menjelaskan dalam bentuk lisan. Hal tersebut dapat ditemukan dalam beberapa hadis Rasulullah SAW.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ  أَنَّ اَلنَّبِيَّ  رَأَى عَلَى عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ , قَالَ : " مَا هَذَا ? " , قَالَ : إِنِّي تَزَوَّجْتُ اِمْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ. فَقَالَ : " فَبَارَكَ اَللَّهُ لَكَ , أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ.
Artinya: Dari Anas Ibnu Malik r.a bahwa Nabi S.A.W pernah melihat bekas kekuningan pada Abdurrahman Ibnu Auf. Lalu beliau bersabda: "Apa ini?". Ia berkata: sesungguhnya aku telah menikahi seorang perempuan dengan maskawin senilai satu biji emas. Beliau bersabda: "Semoga Allah memberkahimu, selenggarakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.

Para ulama Fiqh berbeda pendapat dalam memahami perintah yang terdapat dalam hadis di atas. Terhadap kalimat أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ, dipahami oleh jumhur ulama serta mayoritas mazhab Maliki dan Hanbali menunjukkan perintah sunnah mustahab muakkad. Perintah Nabi untuk mengadakan Walimah dalam hadis ini tidak mengandung arti wajib, tetapi hanya sunnah menurut jumhur ulama karena yang demikian hanya merupakan tradisi yang berlaku di kalangan Arab sebelum Islam datang. Pelaksanaan walimah masa lalu itu diakui oleh Nabi untuk dilanjutkan dengan sedikit perubahan dengan menyesuaikannya dengan tuntutan Islam.
Berbeda dengan pendapat Zahiriah, perintah Rasulullah S.A.W kepada Abdurrahman bin Auf dalam hadis di atas mereka pahami adalah menunjukkan perintah wajib. Pendapat ini juga ditemukan pada sebagian pendapat mazhab Syafi'i dan Maliki. Sebagian ulama mazhab Syafi'i berkata, "hukum walimah adalah wajib, karena Nabi S.A.W memerintahkan mengadakan walimah kepada Abdurrahman bin Auf, begitu juga dengan menghadiri undangan walimah adalah wajib maka berarti walimah itu sendiri hukumnya adalah wajib.
Dalam hadis di atas disebutkan dengan memakai kata lau. Dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-asqalani dalam kitab Fathul Bari bahwa kata lau dalam hadis di atas bukan bersifat 'imtina'iyah atau pencegahan, akan tetapi kata lau di dalamnya menunjukkan littaqlil atau menunjukkan jumlah paling sedikit (minimal).
Dalam hadis lain juga dijelaskan tentang walimah Rasulullah dengan Zainab binti Jahsy, yaitu:
عن ثابت قال: ذكر تزويج زينب بنت جحش عند أنس فقال: ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم أولم على أحد نسائه ما أولم عليها، أولم بشاة.
Artinya: dari Tsabit, dia berkata " disebutkan pernikahan Zainab binti Jahsy di sisi Anas, maka ia berkata "aku tidak pernah melihat Rasulullah S.A.W mengadakan walimah atas seorangpun di antara istri-istrinya seperti beliau mengadakan walimah untuknya (Zainab). Beliau mengadkan walimah untuknya dengan menyembelih seekor kambing.
salah satu pendapat Mazhab Syafi'i menyatakan bahwa kambing adalah batas maksimal untuk suatu walimah. Akan tetapi Iyadh telah menukil adanya ijma' yang mengatakan tidak ada batasan maksimal maupun minimalnya. Ibnu Ashrun berkata "batas minimal walimah bagi orang yang berkecukupan adalah menyembelih seekor kambing".
Namun, dalam beberapa hadis ditemukan bahwa Walimah Al-'urs juga dapat dilakukan dengan tidak menghidangkan daging kambing. Hal ini dapat dilihat dari apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah pada walimah salah satu istri beliau:
وَعَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ شَيْبَةَ قَالَتْ : أَوْلَمَ اَلنَّبِيُّ  عَلَى بَعْضِ نِسَائِهِ بِمُدَّيْنِ مِنْ شَعِيرٍ
Artinya: Shafiyyah Binti Syaibah r.a berkata: Nabi S.A.W mengadakan walimah terhadap sebagian istrinya dengan dua mud gandum.

وَعَنْ أَنَسٍ قَالَ : أَقَامَ اَلنَّبِيُّ  بَيْنَ خَيْبَرَ وَالْمَدِينَةِ ثَلَاثَ لَيَالٍ , يُبْنَى عَلَيْهِ بِصَفِيَّةَ , فَدَعَوْتُ اَلْمُسْلِمِينَ إِلَى وَلِيمَتِهِ , فَمَا كَانَ فِيهَا مِنْ خُبْزٍ وَلَا لَحْمٍ , وَمَا كَانَ فِيهَا إِلَّا أَنْ أَمَرَ بِالْأَنْطَاعِ , فَبُسِطَتْ , فَأُلْقِيَ عَلَيْهَا اَلتَّمْرُ , وَالْأَقِطُ , وَالسَّمْنُ.
Artinya: Anas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam pernah berdiam selama tiga malam di daerah antara Khaibar dan Madinah untuk bermalam bersama Shafiyyah. Lalu aku mengundang kaum muslimin menghadiri walimahnya. Dalam walimah itu tak ada roti dan daging. Yang ada ialah beliau menyuruh membentangkan tikar kulit. Lalu ia dibentangkan dan di atasnya diletakkan buah kurma, susu kering, dan minyak samin.
Ibnu Baththal mengisyaratkan bahwa perbedaan walimah di antara para istri Nabi tanpa unsur kesengajaan untuk melebihkan sebagian istri dengan istrinya yang lain, bahkan terjadi secara kebetulan. Sekiranya kambing tersedia pada setiap pernikahan dengan istri-istrinya tentu beliau akan menghidangkan kambing di setiap walimahnya, karena beliau adalah manusia paling dermawan tetapi beliau tidak berlebih-lebihan dalam urusan dunia.
Dari beberapa hadis di atas serta penjelasan para ulama dapat dipahami bahwa Rasulullah S.A.W menganjurkan kepada umatnya untuk mengadakan Walimah Al-'urs dalam acara pernikahan. Anjuran ini juga dapat dipahami menunjukkan perbuatan yang hukumnya adalah sunat. Walimah Al-'urs itu juga diadakan sesuai dengan kondisi kemampuan ekonomi dalam batas kepatutan dan kewajaran. Juga tidak melakukan pemborosan, kemubadziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri.
b. Waktu Mengadakan Walimah Al-'urs
Para ulama Fiqh juga berbeda pendapat tentang waktu pelaksanaan walimah, apakah walimah itu dilaksanakan pada waktu akad nikah, setelah akad nikah, ketika malam pengantin atau setelahnya?
Mazhab Maliki berpendapat bahwa Walimah Al-'urs itu dilakukan setelah malam pengantin. Namun, sebagian dari pengikut mazhab Maliki berpendapat bahwa Walimah Al-'urs itu dilakukan pada waktu akad nikah. Sedangkan menurut Ibnu Jundub, Walimah Al-'urs tersebut dilakukan pada waktu akad dan setelah malam pengantin. Mazhab Maliki berpendapat demikian karena merujuk pada hadis Rasulullah mengenai pernikahannya dengan Zainab binti Jahsy. Ini pula yang dijadikan Al-Baihaqi sebagai landasan ketika menyebutkan waktu walimah.
Di kalangan ulama Mazhab Syafi'i terdapat dua pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Imam Al-Mawardi yang menjelaskan bahwa walimah itu ketika terjadi hubungan suami istri di antara kedua mempelai. Sedangkan pendapat kedua dikemukakan oleh Imam As-Subki yang mengatakan bahwa walimah itu dilaksanakan setelah berlangsung hubungan suami istri.
Menurut nukilan Iyadh bahwa yang paling benar dalam mazhab Maliki adalah disukai setelah dukhul. Namun, sekelompok mereka mengatakan disukai saat akad. Adapun menurut Ibnu Habib disukai saat akad dan setelah dukhul. Lalu di tempat lain dia berkata, "boleh sebelum dukhul dan sesudahnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa waktu mengadakan Walimah Al-'urs boleh dilakukan ketika akad nikah atau sesudahnya, ketika berlangsungnya hubungan suami istri atau sesudahnya. Hal tersebut dapat juga dilakukan sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat.
3. Masa Mengadakan Walimah Al-'urs
Perlu dipahami bahwa ada perbedaan antara waktu mengadakan walimah al-'urs dengan masa mengadakan Walimah Al-'urs. Waktu mengadakan, yaitu kapan dilaksanakan Walimah Al-'urs. Sedangkan masa mengadakan Walimah Al-'urs adalah berapa lama mengadakan Walimah Al-'urs tersebut.
Mengenai hal tersebut dapat dilihat dari hadis Rasulullah S.A.W yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi, yaitu;
وَعَنْ اِبْنِ مَسْعُودٍ  قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  طَعَامُ الْوَلِيمَةِ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ , وَطَعَامُ يَوْمِ اَلثَّانِي سُنَّةٌ, وَطَعَامُ يَوْمِ اَلثَّالِثِ سُمْعَةٌ ، وَمَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ. رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَاسْتَغْرَبَهُ , وَرِجَالُهُ رِجَالُ اَلصَّحِيحِ
Artinya: Dari Ibnu Mas'ud Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Makanan walimah pada hari pertama adalah layak, pada hari kedua adalah sunat, dan pada hari ketiga adalah sum'ah (ingin mendapat pujian dan nama baik). Barangsiapa ingin mencari pujian dan nama baik, Allah akan menjelekkan namanya.
Hadis ini dha'if menurut sebagian ulama karena diriwayatkan oleh Ziyad bin Abdullah Al-Bakka'i, ia dikenal sebagai periwayat yang banyak menukil hadis gharib dan munkar. Menurut Ibnu Hajar, guru dari Ziyad adalah Atha' bin As-Sa'ib, sementara Ziyad mendengar riwayat dari Atha' setelah hafalannya rancu maka inilah cacat hadis itu. Namun, hadis ini praktekkan oleh Mazhab Syafi'i dan Hanbali.
Menurut Imam Nawawi, apabila diadakan walimah selama tiga hari maka pemenuhan undangan pada hari ketiga adalah makruh, tidak wajib secara mutlak. Sekelompok ulama lain mengatakan bahwa tidak makruh pemenuhan undangan pada hari yang ketiga itu bagi orang yang tidak diundang pada hari pertama dan kedua. Imam Bukhari sependapat dengan kelompok ulama ini, menurutnya tidak mengapa menjamu tamu walaupun hingga tujuh hari.
Adapun Mazhab Hanbali hanya mewajibkan hadir di hari pertama. Sedangkan hari kedua mereka katakan sebagai sunnah karena berpegang kepada makna zhahir redaksi hadis Ibnu Mas'ud.
Mengenai makruh hadir pada hari ketiga disebutkan secara mutlak berdasarkan makna zhahir hadis. Al-Umrani berkata, "hanya saja yang dianggap makruh jika orang-orang yang diundang pada hari ketiga adalah mereka yang diundang hari pertama. Demikian juga gambaran yang dipaparkan oleh Al-Karmani namun dimentahkan oleh Ulama Mutaakhkhirin padahal pendapat ini tidak terlalu jauh dari kebenaran, sebab penamaan perbuatan itu sebagai riya dan sum'ah memberi asumsi bahwa ia dibuat untuk berbangga-bangga. Adapu bila orang yang diundang cukup banyak lalu di setiap harinya diundang satu kelompok maka umumnya tidak ada unsur berbangga-bangga.
Pendapat di atas berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Bukhari pada bab "keharusan menghari walimah dan undangan", ia berkata:
ولم يوقت النبي صلى الله عليه وسلم يوما ولا يومين.
Artinya: Nabi Muhammad S.A.W tidak memberi batasan waktu satu hari atau dua hari.
Maksud dari perkataan Imam Bukhari di atas dijelaskan oleh Ibnu Hajar, bahwa Nabi S.A.W tidak memberi batasan waktu tertentu bagi pelaksanaan walimah, baik dalam konteks wajib maupun mustahab (disukai). Pendapat yang menjadi kecenderungan Imam Bukhari juga merupakan pendapat para ulama Mazhab Maliki. Iyadh berkata, "para ulama Mazhab kami menyukai bagi mereka yang mampu untuk mengadakan walimah selama satu pecan". Dia berkata pula, "sebagian mereka mengatakan bahwa hal ini berlaku apbila setiap harinya diundang orang yang belum diundang hari sebelumnya dan tidak terulang undangan pada satu orang.
4. Hukum Menghadiri Undangan Walimah Al-‘urs
Terdapat beberapa hadis tentang anjuran menghadiri undangan Walimah Al-'urs, antara lain:
عن نافع، عن عبد الله اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ  إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى اَلْوَلِيمَةِ فَلْيَأْتِهَا
Artinya: Dari Nafi', dari Abdullah bin Umar Radliyallaahu 'anhuma bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila seorang di antara kamu diundang ke walimah, hendaknya ia menghadirinya.
عن نافع ؛ أن ابن عمر كان يقول عن النبي صلى الله عليه وسلم إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ , فَلْيُجِبْ; عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ
Artinya: Dari Nafi', bahwa Ibnu pernah menuturkan sabda Nabi S.A.W "apabila salah seorang di antara kamu mengundang saudaranya, hendaknya ia memenuhi undangan tersebut, baik itu undangan pernikahan atau semisalnya"
Dalam hadis ini terdapat perintah untuk menghadiri undangan walimah. Perintah di dalam hadis ini dipahami oleh para ulama dengan pemahaman yang berbeda-beda.
Makna lahir dari hadis ini telah dijadikan pegangan sebagian ulama Mazhab Syafi'i. Oleh karena itu, mereka mewajibkan menghadiri undangan secara mutlak, baik pesta pernikahan maupun selainnya. As-Syafi'i berkata, "mendatangi undangan walimah adalah hak dan walimah yang dikenal adalah walimah pernikahan, setiap undangan walimah maka tidak aku beri keringanan bagi seorang pun untuk menghadirinya. Ibnu Abdul Barr menukil dari Ubaidillah bin Al-Hasan Al-Anbari (Qhadi di Bashrah) dia mengklaim bahwa Ibnu Hazmi mengatakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas sahabat serta tabi'in.
Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa menghadiri undangan walimah itu hukumnya adalah sunat. Sementara jumhur ulama mengatakan hukum memebuhi undangan walimah adalah wajib 'ain jika tidak ada udzur yang menghalangi untuk memenuhi undangan tersebut. Bahkan orang yang sedang berpuasa pun diwajibkan untuk memenuhi undangan walimah, akan tetapi dia tidak harus makan pada saat itu.
Kemudian beberapa ulama di kalangan Mazhab Syafi'i dan Hanbali berpendapat bahwa hukum menghadiri undangan walimah adalah sunat saja. Al-Kahlani menuturkan bahwa di antara ulama kalangan Mazhab Syafi'i dan Hanbali ada yang berpendapat bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah.
Dalam kitab Al Bahru karya Al Mahdi terdapat riwayat ijma’ sekelompok ulama tentang tidak wajib memenuhi walimah semuanya. Menurut pendapat Ibnu Daqiqil ‘Id dalam Syarah Al Ilmam, bahwa berdasarkan pendapat yang mengatakan wajib itu, diperbolehkan tidak memenuhi undangan itu semuanya, karena beberapa udzur (alasan).
Bahkan orang yang berpuasa pun dianjurkan untuk memenuhi undangan walimah. Hal ini dapat ditemukan dalam hadis Rasulullah S.A.W, yaitu:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ ، فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ ، وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد
Artinya: Dari Abu Hurairah Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:Apabila seorang di antara kamu diundang hendaknya ia memenuhi undangan tersebut, jika ia sedang puasa hendaknya ia mendoakan, dan jika ia tidak puasa hendaknya ia makan. H.R Ahmad, Muslim dan Abu Daud
Dalam hadis tersebut terkandung dalil bahwa wajib orang yang sedang dalam keadaan berpuasa untuk memenuhin undangan walimah itu. Kemudian dipersilisihkan tentang maksud dari doa dalam hadis tersebut. Jumhur ulama mengatakan bahwa yang mempunyai makanan (bagi Pengundang) semoga mendapat ampunan dan berkah. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksudkan itu ialah shalat yang terkenal, yaitu hendaklah ia mengerjakan shalat supaya mendapat keutamaannya dan memperoleh berkahnya orang yang mempunyai makanan dan para hadirin yang diundang itu.
Menurut zhahir hadis tersebut tidak mengharuskan berbuka puasa, baru memenuhi undangan walimah. Jika puasa itu adalah puasa fardhu, maka tidak ada perbedaan pendapat tentang haramnya dia berbuka karena untuk memenuhi undangan walimah itu. Jika puasanya adalah puasa sunat, maka boleh baginya berbuka puasa. Zhahir dari sabdabnya: hendaklah dia makan, menunjukkan wajibnya makan pada walimah itu. Ulama berselisih pendapat tentang masalah itu. Pendapat yang paling benar menurut ulama Syafi’iyah, bahwa tidak wajib memakan makanan walimah itu maupun pada kenduri lainnya.
Dalam hadis lain juga dijelaskan tentang orang yang sedang berpuasa datang menghadiri undangan walimah, yaitu:
وَعَنْ جَابِرٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ ، فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُد وَابْنُ مَاجَهْ
Artinya: Dari Jabir ia mengatakan, Rasulullah S.A.W bersabda: apabila seseorang di antara kalian diundang makan, maka hendaklah memenuhi. Bila mau maka ia makan dan bila tidak mau maka tidak makan. H.R Ahamad, Muslim, Abu Daud dan Ibnu Majah
Dengan memahami beberapa dalil di atas berikut penjelasan ulama, dapat dipahami bahwa undangan Walimah Al-‘urs itu pada dasarnya hukum memenuhinya adalah wajib. Namun, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, seperti undangan kepada orang yang berpuasa. Dalam hal ini, ia boleh memilih makan atau tidak, tapi lebih baik mengatakan kepada si Pengundang bahwa ia sedang berpuasa.
Dalam hal dua undangan yang bersamaan, seharusnya harus diperhatikan tentang jauh dekatnya kekerabatan dengan orang yang mengundang atau jarak tempuh untuk sampai ke tempat Walimah Al-‘urs diadakan. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang alasan kebolehan menghadiri undangan Walimah Al-‘urs atau tidak sama sekali.

B. Syarat Walimah Al-‘urs
Ada beberapa persyaratan yang harus diperhatikan oleh seorang muslim dalam mengadakan Walimah Al-'urs serta menghadirinya agar terhindar dari hal-hal yang tidak bersifat islami. Untuk itu, dapat dilihat dari berbagai hadis Rasulullah S.A.W antara lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ تُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَتُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ.
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah pernah bersabda: seburuk-buruk makanan ialah makanan walimah di mana yang diundang hanyalah orang-orang kaya saja sementara orang-orang yang miskin tidak diundang.
وَفِي رِوَايَةٍ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ يُمْنَعُهَا مَنْ يَأْتِيهَا وَيُدْعَى إلَيْهَا مَنْ يَأْبَاهَا . رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Abu Hurairah juga berkata, Rasulullah S.A.W bersabda: seburuk-buruk makanan adalah makanan walimah yang ingin mendatanginya dicegah sedangkan orang yang enggan datang justru diundang. H.R Muslim
عَنْ حُمَيْدٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحِمْيَرِيِّ عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إذَا اجْتَمَعَ الدَّاعِيَانِ فَأَجِبْ أَقْرَبَهُمَا بَابًا ، فَإِنَّ أَقْرَبَهُمَا بَابًا أَقْرَبُهُمَا جِوَارًا ، فَإِذَا سَبَقَ أَحَدُهُمَا فَأَجِبْ الَّذِي سَبَقَ . رَوَاهُ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُد
Artinya: Dari Humaid bin Abdurrahman Al-Himyari, dari seorang sahabat Nabi S.A.W, bahwa beliau berkata: Apabila dua orang mengundang secara bersamaan, maka penuhilah orang yang paling dekat pintu (rumah)nya. Jika salah seorang di antara mereka mengundang terlebih dahulu, maka penuhilah undangan yang lebih dahulu. HR Ahmad dan Abu Dawud
وَعَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : صَنَعْتُ طَعَامًا فَدَعَوْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَجَاءَ فَرَأَى فِي الْبَيْتِ تَصَاوِيرَ فَرَجَعَ. رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
Artinya: Dari Ali r.a, ia menuturkan “aku membuat makanan lalu aku mengundang Rasulullah S.A.W, beliaupun datang lalu beliau melihat gambar-gambar di dalam rumah maka beliau pun pulang. HR Ibnu Majah
وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ مَطْعَمَيْنِ : عَنْ الْجُلُوسِ عَلَى مَائِدَةٍ يُشْرَبُ عَلَيْهَا الْخَمْرُ، وَأَنْ يَأْكُلَ وَهُوَ مُنْبَطِحٌ . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد
Artinya: Dari Ibnu Umar, ia berkata bahwa Rasulullah S.A.W melarang dua hal pada orang yang makan, yaitu: duduk di tempat jamuan yang di dalamnya khamar diminum dan makan sambil tengkurap. HR Abu Daud
Memahami beberapa hadis di atas, Imam Asy-Syaukani dalam bukunya Nailu Al-Authar ikut serta menjelaskan tentang syarat Walimah Al-‘urs dan telah dikutip oleh Sayid Sabiq , yaitu:
أَنْ يَكُونَ الدَّاعِي مُكَلَّفًا حُرًّا رَشِيدًا ، وَأَنْ لَا يَخُصَّ الْأَغْنِيَاءَ دُونَ الْفُقَرَاءِ ، وَأَنْ لَا يُظْهِرَ قَصْدَ التَّوَدُّدِ لِشَخْصٍ لِرَغْبَةٍ فِيهِ أَوْ رَهْبَةٍ مِنْهُ ، وَأَنْ يَكُونَ الدَّاعِي مُسْلِمًا عَلَى الْأَصَحِّ ، وَأَنْ يَخْتَصَّ بِالْيَوْمِ الْأَوَّلِ عَلَى الْمَشْهُورِ ، وَأَنْ لَا يُسْبَقَ ، فَمَنْ سَبَقَ تَعَيَّنَتْ الْإِجَابَةُ لَهُ دُونَ الثَّانِي ، وَأَنْ لَا يَكُونَ هُنَاكَ مَا يُتَأَذَّى بِحُضُورِهِ مِنْ مُنْكَرٍ أَوْ غَيْرِهِ ، وَأَنْ لَا يَكُونَ لَهُ عُذْرٌ ،
1. Pengundangnya mukallaf, merdeka dan berakal sehat.
2. Undangannya tidak dikhususkan kepada orang-orang kaya saja, sedangkan orang miskin tidak.
3. Undangan tidak ditujukan hanya kepada orang yang disenangi dan dihormati.
4. Pengundangnya beragama Islam (pendapat yang lebih sah).
5. Khusus pula di hari yang pertama (pendapat yang paling terkenal).
6. Belum didahului oleh undangan yang lain. Kalau ada undangan yang lain, maka yang pertama harus didahulukan.
7. Tidak diselenggarakan kemungkaran.
8. Yang diundang tidak ada udzur syara'.
Ash-Shan’ani juga memberikan beberapa persyaratan dengan mengambil pendapat Ibnu daqiqil ‘Id dalam Syarah Al-Ilmam, yaitu:
وقد يسوغ ترك الإجابة لأعذار: منها أن يكون في الطعام شبهة أو يخص بها الأغنياء أو يكون هناك من يتأذى بحضوره معه أو لا يليق لمجالسته أو يدعوه لخوف شره أو لطمع في جاهه أو ليعاونه على باطل أو يكون هناك منكر من خمر أو لهو أو فراش حرير أو ستر لجدران البيت أو صورة في البيت أو يعتذر إلى الداعي فيتركه أو كانت في الثالث.
Diperbolehkan tidak memenuhi undangan itu semuanya, karena beberapa udzur (alasan): ada syubhat pada makanannya atau khusus mengundang orang kaya saja atau pada walimah ada orang yang menyakitkan hati dengan kehadirannya bersamanya, atau tidak patut dipergauli orangnya, atau dia mengundang orang karena takut kejahatannya, atau karena ada ambisi pada jabatannya, atau untuk membatunya dalam kebatilan, atau di tempat walimah itu ada kemungkaran seperti minuman khamar atau hiburan yang menjadikan lalai mengingat Allah, atau karena permadaninya terdiri dari sutra atau sutra yang menjadi kelambu temboknya atau karena ada lukisan atau gambar di rumahnya atau dia sudah pamit pada pihak yang mengundang, maka boleh dia tidak menghadirinya. Atau karena walimahnya adalah yang ketiga kali.
Persyaratan seperti di atas harus diperhatikan dengan baik dan benar agar terhindar dari hal-hal yang dapat menimbulkan dosa dan kemurkaan Allah. Untuk itu dalam mengadakan Walimah Al-‘urs secara rinci memeliki beberapa ketentuan, yaitu:
1. Mengundang saudara, kerabat, teman dan alim ulama tanpa membedakan kaya atau miskin dan disegani atau tidak.
2. Disesuaikan dengan kondisi ekonomi dengan tidak berlebih-lebihan atau mubadzir.
3. Tidak menyediakan kemungkaran di dalamnya dan melarang kemungkaran yang dibawa oleh para undangan.
4. Tidak melalaikan atau meninggalkan kewajiban lain, seperti shalat, menutup aurat, dan lain-lain.


C. Hikmah Walimah Al-‘urs
Adapun hikmah dari disuruhnya mengadakan walimah ini adalah dalam rangka mengumumkan kepada khalayak bahwa akad nikah sudah terjadi sehingga semua pihak mengetahuinya dan tidak ada tuduhan di kemudian hari. Ulama Malikiyah dalam tujuan untuk memberi tahukan terjadinya perkawinan itu lebih mengutamakan walimah dari menghadirkan dua orang saksi dalam akad perkawinan.
Disyariatkannya membuat makanan untuk perayaan perkawinan, seorang suami berhubungan intim dengan istrinya (dukhul), pendekatan dua keluarga untuk saling mengenal dan saling menyatu di antara dua keluarga tersebut serta bangga dengan nikmat Allah S.W.T. di dalamnya terdapat unsur informasi mengenai pernikahan dan syiar. Di dalamnya juga terdapat unsure doa, perkumpulan dan saling mengenal.
Diadakannya walimah dalam pesta perkawinan mempunyai beberapa keuntungan (hikmah), antara lain sebagai berikut:
1. Merupakan rasa syukur kepada Allah S.W.T.
2. Tanda penyerahan anak gadis kepada suami dari kedua orang tuanya.
3. Sebagai tanda resminya adanya akad nikah.
4. Sebagai tanda memulai hidup baru suami istri.
5. Sebagai realisasi arti dari sosiologi akad nikah.
6. Sebagai pengumuman bagi masyarakat, bahwa antara mempelai telah resmi menjadi suami istri sehingga masyarakat tidak curiga terhadap perilaku yang dilakukan oleh kedua mempelai.
Di samping itu, dengan adanya Walimah Al-'urs kita dapat melaksanakan perintah Rasulullah S.A.W, yang menganjurkan kaum muslimin untuk melaksanakan Walimah Al-'urs walaupun hanya dengan meyembelih seekor kambing.
Di dalam Walimah Al-'urs ini, teman-teman dan tetangga diundang untuk menyaksikan pernikahan, untuk menggembirakan kedua mempelai dan memberikan do’a restu serta ucapan selamat kepada kedua mempelai. Di samping itu, kehadiran mereka juga bisa sekaligus menjadi saksi bahwa telah terjadi akad pernikahan pada saat itu. Pernikahan perlu diketahui oleh orang banyak supaya mempelai laki-laki dan perempuan ketika bergaul antara keduanya tidak dicurigai oleh masyarakat setempat karena mereka sudah mengetahui bahwa antara keduanya telah terjadi akad pernikahan yang menyebabkan kejelasan statusnya dalam pandangan masyarakat umum.

BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Buta akan sejarah adalah hal yang harus dihindari karena, kenal sejarah adalah tanda mengenal bangsa. Kelurahan Kota Siantar memiliki peran penting di dalam sejarah Mandailing Godang. Mandailing Natal atau disebut Mandailing Godang memiliki sejarah panjang yang beragam dari berbagai pihak dan daerah, antara lain:
1. Versi Melayu
Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyung (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.
Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak tersebutlah kemudiannya ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutan sedang ia berburu.
2. Versi Batak
Dari segala Marga-marga tersebut, yang pertama menduduki tanah Batak selatan adalah kelompok Marga Lubis. Sudah sejak lebih 60 generasi meninggalkan Danau Toba. Orang-orang Marga Lubis semula bertempat tinggal di Toba dekat ke Balige yang sekarang dan di Uluan dekat ke Narumonda yang sekarang. Orang-orang Marga lubis yang merantau hanyalah minoritas dan yang tinggal adalah mayoritas. Akan tetapi, pada tahun 1818 orang-orang marga Lubis di Toba diperangi dengan pedang oleh tentara Paderi. Sejak itulah orang-orang Marga Lubis di Toba menjadi minoritas dan orang-orang Marga Lubis yang merantau ke Mandailing menjadi mayoritas.
Sebelum orang-orang Marga Lubis datang migrasi dari Toba dan memasuki daerah Mandailing sambil membakari hutan-hutan, di Natal dan Singkuang sudah ada sekelompok masyarakat yang berbahasa Minangkabau/dialek Pesisir. Kelompok masyarakat itu terdiri dari beberapa populasi dan warna kulit dari dalam dan luar kepulauan Indonesia, seperti: Persi, Arab, India, Tiongkok, Aceh, Minangkabau, bugis dan lain-lain.
Di bawah pimpinan orang-orang Bugis, kelompok masyarakat itu bergerak sepanjang sungai Batang Gadis untuk membendung malapetaka di pedalaman akibat perbuatan Marga Lubis yang terus membakari hutan untuk dijadikan sebagai lahan pertanian. Mereka melalui jalan yang telah dilewati oleh Marga Lubis tapi belum dilalui oleh Marga Harahap.
Kelompok tersebut banyak kawin dengan anak-anak gadis Marga Lubis dan Harahap. Para pemuka dan tokoh dalam Marga Harahap menjelaskan kepada mereka, bahwa mereka harus tunduk kepada adat Batak, supaya dapat secara sopan kawin dengan gadis Marga Harahap dan Lubis. Kelompok di Mandailing tersebut terpaksa belajar adat Batak. Untuk mengajari penduduk di daerah tersebut maka didatangkanlah Datu Nasangti Si Bagot Ni Pohan, dia sangat banyak menguasai White Magic dan Black Magic. Datu Nasangti menikah dengan wanita dari Marga Lubis dan mengadakan pesta dengan menyembelih 7 ekor kerbau. Pada saat pesta itulah Datu Nasangti membentuk Marga Nasangtion (Nasution) dengan memukul canang (=gong).
3. Versi Mandailing
Alkisah tersebutlah suatu riwayat, pada suatu hari, pergilah Sutan Pulungan Raja Huta Bargot yang tersebut berburu rusa, dengan beberapa pengiringnya. Takdir Allah menyalaklah anjingnya yang bernama Sampaga-Tua, maka berebutlah segala pengiringnya mengejar perburuan itu, tiba-tiba dilihat mereka itu kiranya seorang anak laki-laki yang disalak anjing itu terletak di atas batu yang dibungkus dengan kain sutera pelangi di bawah pohon kayu beringin.
Maka anak itupun diambil oranglah dan dibawa kepada Sutan Pulungan, lalu dibawa pulang ke kampung dan diberikan kepada seorang budak perempuan namanya Sauwa, maka dipiaranyalah anak itu dengan sepertinya.
Kata setengah riwayat, sebab si Sauwa tiada mempunyai air susu, maka di susukannyalah anak itu kepada seekor anjing yang sedang menyusukan anaknya, tempat itu di namai (baroar), sebab itulah anak itu dinamai Baroar, tetapi setengah riwayat Baroar itu diambil dari pada nama seorang laki-laki yang dijadikan pengasuhnya anak itu, maka Baroarpun semakin hari semakin besar.
Kata sahibulhikayat, Sutan Pulungan ada mempunyai seorang anak laki- laki yang sama besar dan serupa dengan Baroar, bagai pinang dibelah dua, sebab itulah acap kali orang kampung dan hamba-hambanya sesat memberi hormat dan memberi makan, oleh kerena itulah mendatangkan cemburu kepada Sutan Pulungan dan isterinya.
Hatta pada suatu hari, waktu Sutan Pulungan hendak menegakkan istana, maka diperintahkannya, supaya Baroar dijadikan alas tiang di bosur (tiang tua) istana itu, dan diberi tanda dengan coreng sadah dikening Baroar. Takdir Allah anak Sutan Pulungan mencoreng keningnya pula dengan sadah, seperti coreng kening Baroar.
Setelah Si Sauwa mendengar kabar behwa Baroar akan dijadikan alas tiang tua istana, maka dengan segera dibawanya lari anak itu dan bersembunyi pada sebuah dangau sawah yang tinggal, yang sudah dibalut oleh akar-akar.
Jadi ditangkap oranglah anak Sutan Pulungan lalu dialaskannyalah ke tapakan tiang istana hingga mati. Waktu hendak makan, ributlah orang mencari anak Sutan Pulungan itu, maka tatkala ketahuan bahwa yang dialaskan itu anak Sutan Pulungan, maka orang carilah Baroar, tatkala mereka itu sampai hampir dangau tadi, maka barbunyilah burung ketitiren di atas pintu (bubungan) dangau itu, jadi pada persangkaan orang itu, tentu tiada orang di situ, bila ada orang, nyatalah ketitiren itu, tiada berani hinggap di situ, maka kembalilah mereka itu, sebab itulah segala keturunan Baroar marsabang (berpantang) makan burung ketitiren sampai kepada masa ini.
Baroarpun dibawa lari oleh si Sauwa ke seberang Aek Godang (Batang Gadis) sehingga damai porumahan itu “parbagasan babiat soboun”, itulah tempat perumahan istana Panyabungan Tonga yang sekarang.
Di situlah Baroar di gelar Sutan di Aru, dan merajai dua kampung yang dinamai anak ni Dolok anak ni Lombang. Tempat itulah pertengahan pada segenap kampung yang berkeliling di sana, maka orang perbuatlah tempat itu tempat perjudian sabung ayam, sebab itulah tempat itu orang namakan Panyabungan sampai kepada masa sekarang. Lama kelamaan tempat itu mendjadi ramai dan lagi Sutan di Aru, sangat dicintai oleh anak buah, kerena budinya sangat baik dan amat ditakuti orang, sebab persangkaan orang Sutan di Aru adalah anak dewa.
Maka oleh kerena saktinyalah Baroar itu disebut orang suku Nasution. Adapun Sutan di Aru itu mempunyai seorang anak yang amat berbahagia ialah Baginda Mangaraja Enda, Baginda inilah jang mengembangkan dan memasyhurkan kerajaan Panyabungan.
Menurut cerita rakyat Mandailing, suatu masa ditemukan sebuah keris di tengah rawa-rawa (Desa Gunung Tua sekarang), orang menganggap keris itu turun dari langit dan telah banyak orang mencoba untuk mengambilnya tapi tidak ada yang bisa mencabutnya dari tanah dan yang berhasil mencabut keris itu adalah Sutan di Aru. Begitu juga ketika orang Hutasiantar menemukan sebuah canang di rawa-rawa dekat Padang Mardia (Hutasiantar), yang sanggup mengambil dan membawanya pulang hanyalah Sutan di Aru atau Baroar. Karena kesaktiannya itulah dia dan keturunannya disebut Nasution Sibaroar.
Selain dari pada marga Nasution, di Mandailing masih ada setengah lusin marga-marga yang kecil-kecil, yang juga bukan berketurunan Batak dan bukan pula berketurunan Minangkabau. Antara lain marga Rangkuti di kampung Ronding, yang pada tahun 1581 di situ dibentuk oleh orang-orang Jawa/Singosari. Mereka mengungsi dari kerajaan Pagaruyung, pada waktu itu berkuasa Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung yang semula beragama Hindu / Jawa, kemudian masuk Islam /madzhab Syi’ah dengan nama Sultan Alif.
Usai perang Paderi pada tahun 1840 dibentuklah Asisten Residensi Mandailing Angkola beribukota di Panyabungan sebagai bagian dari wilayah Residensi Air Bangis. Ketika Residensi Tapanuli dibentuk pada 1843 yang beribukota di Sibolga, maka Residensi Air Bangis pun dibubarkan. Air Bangis dan Rao menjadi Afdeeling dari Residensi Padang.
Kota Panyabungan menjadi Ibukota Asisten Residensi Mandailing Angkola selama 33 tahun, 1840-1873. pada Tahun 1873 Ibukota pindah ke Padangsidempuan. Menjelang akhir abad XIX sampai awal abad XX Kotanopan dijadikan Ibukota Onder Afdeeling sedangkan Panyabungan Ibukota Onder District.
Setelah proklamasi kemerdekaan wilayah Tapanuli Selatan dikepalai oleh Binanga Siregar sebagai Kepala Luhak Besar. Kemudian pada perkembangan berikutnya sesudah agresi Belanda II dibentuklah tiga Kabupaten, ialah: Padang Lawas, Angkola sipirok dan Batang Gadis. Kabupaten Batang Gadis meliputi wilayah Mandailing dan Natal yang dikepalai oleh Bupati Raja Jungjungan Lubis yang kemudian diganti oleh Fachruddin Nasution dengan Ibukotanya Kotanopan. Karena Kotanopan tidak layak sebagai Ibukota Kabupaten Batanggadis maka ibukota Dipindahkan ke Panyabungan. Ketika kabupaten Mandailing Natal dibentuk pada tahun 1998, kota Panyabungan kembali ditetapkan sebagai Ibukota Kabupaten Mandailing Natal.
Sejarah Tamaddun, peradaban mencatat bahwa sungai adalah sarana peradaban yang tinggi. Sarana itu dimiliki oleh Kota Panyabungan yaitu beberapa sungai: Batang Gadis, Aek Pohon, Aek Mata dan Aek Rantopuran yang mengairi areal persawahan yang sangat luas di bagian barat Panyabungan. Keadaan alam inilah yang menempatkan Panyabaungan sebagai pemasok utama bahan pangan di wilayah Mandailing Natal bahkan sampai ke luar daerah itu.
Panyabungan menjadi pusat kebudayaan tradisional. Keturunan cikal bakal Marga Nasution Sibaroar, bukan hanya menjadi raja-raja di sekitar panyabungan. Mereka juga menjadi raja-raja di Maga dan Muara Botung di Mandailing Julu (Kotanopan sebelum pemekaran) dan di Muarasoma, Muara Parlampungan dan Aek Nangali di wilayah Batang Natal, Lumban Dolok dan Sihepeng di Kecamatan Siabu. Semua raja-raja itu adalah anggota rapat adat yang berpusat di Panyabungan Tonga.
Kabupaten Mandaililng Natal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri Syarwan Hamid pada tanggal 9 Maret 1999 di Kantor Gubernur Sumatera Utara di Medan. Sedangkan sementara Kantor Bupati Mandaililng Natal di Panyabungan diresmikan oleh Gubernur Sumatera Utara , Tengku Rizal Nurdin pada tanggal 11 maret 1999.
Sejumlah Undang-undang dan Peraturan Daerah dijadikan dasar pembentukan Kabupaten Mandaililng Natal, sbb:
1. UU No 12 Tahun 1998 Tanggal 23 Nov 1998 Tentang Pembentukan Kabupatan Toba Samosir dan Kabupaten Mandailing Natal.
2. UU No 2 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Petunjuk Pelaksanaannya.
3. UU No 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Petunjuk Pelaksanaannya.
4. Peraturan Daerah No 40 Tahun 2000 Tentang Motto dan Lambang Daerah.
5. Peraturan Daerah No 8 Tahun 2001 Tentang Rencana Strategis.
6. Peraturan Daerah No 15 Tahun 2001 Tentang Pola Dasar Pambangunan Daerah dan Program Pembangunan Daerah Kabupaten Mandailing Natal Tahun 2001-2005.
7. Peraturan Daerah No 1,2,3 Tahun 2000 Tentang Sekretariat Daerah, Dinas Daerah dan Lembaga Teknis Daerah.
Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak antara 00.10'- 01' 50' Lintang Utara dan 98 0 50' - 100 0 10' Bujur Timur. Wilayah administrasi Mandailing Natal dibagi atas 17 kecamatan dan 375 desa/kelurahan yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1998 pada tanggal 23 November 1998. Pada Tanggal 15 Februari 2007 Kabupaten Mandailing Natal mengeluarkan Perda No 10 Tahun 2007 tentang pembentukan kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, Kecamatan Ranto Baek, Kecamatan Huta Bargot, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Kecamatan Pakantan, dan Kecamatan Sinunukan. Kemudian pada tanggal 7 Desember 2007, Kecamatan Naga Juang dibentuk dengan Perda No. 46 Tahun 2007. Dengan demikian Kabupaten Mandailing Natal kini memiliki 23 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 353 dan Kelurahan sebanyak 32 kelurahan.
Daerah Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak paling selatan dari propinsi Sumatera Utara dengan batas-batas sebagai berikut :
1. Sebelah Utara dengan Kabupaten Padang Lawas
2. Sebelah Selatan dengan Propinsi Sumatera Barat.
3. Sebelah Timur dengan Propinsi Sumatera Barat
4. Sebelah Barat dengan Samudera Indonesia .
Kabupaten Mandailing Natal mempunyai luas daerah sebesar 662.070 Ha atau 9,24 persen dari wilayah propinsi Sumatera Utara. Wilayah yang terluas adalah Kecamatan Muara Batang Gadis yakni 143.502 Ha (21,67%) dan terkecil yaitu Kecamatan Lembah Sorik Marapi sebesar 3.472,57 Ha (3,46%) pada tahun 2006.
Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing Natal tahun 2007 yakni 417.590 jiwa. Laki-laki 204.788 orang dan perempuan 212.802 orang. Dengan sex ratio yaitu 96,23 dan banyak rumah tangga 94.477.KK dengan rata-rata anggota rumah tangga yakni 4. Laju pertumbuhan penduduk Mandailing Natal tahun 2007 sebesar 0,93 % .

A. Letak Geografis Kelurahan Kotasiantar
Daerah ini pada masa dahulu memiliki beberapa kampung yang dihuni oleh manusia, dua kampung di sebelah timur, yaitu: Padang Mardia dan kampung Borotan, dua kampung di sebelah barat, yaitu: Lumban Sibaguri dan kampung Bargot, di tengah-tengahnya adalah Bagas Godang atau istana raja Borotan. Daerah ini dikuasai oleh raja-raja marga Borotan, dalam tambo keturunannya mencatat bahwa raja pertama dalam daerah ini adalah Raja Balintang.
Alkisah, waktu putus waris raja di Lumban Sibaguri, dijemput oranglah Sang Yang Dipertuan menjadi raja di Lumban Sibaguri, maka diantarlah ia ke sana dengan segala adat kebesaran, sebab itulah Lumban Sibaguri ditukar namanya dengan Hutasiantar, sebab rajanya yang diantar ke sana. Tersebutlah dari pihak keturunan marga Borotan dengan Raja Mananti atau Mananti Raja sebab, merekalah yang menyambut Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Anak dari Mangaraja Enda atau cucu dari Sutan di Aru (Si Baroar). Sebab itu juga seluruh harta kekayaan Bagas Godang (istana) serta tanah wilayah menjadi tanggung jawabnya.
Pihak dari keluarga marga Borotan menjadi marga Nasution maka di Hutasiantar terdapat dua marga Nasution, yaitu; Nasution Borotan sebagai marga asli di Hutasiantar dan Nasution Si Baroar menjadi pengganti raja. Dalam menghuni Hutasiantar dibuatlah satu kebijakan bahwa, Nasution Borotan tinggal di Julu Ni Bagas Godang (sebelah timur istana raja) dan Nasution Si Baroar tinggal di Jae Ni Bagas Godang. Sampai sekarang perbedaan itu masih dapat ditemukan. Dan terdapat juga marga-marga yang kecil, seperti Pulungan, Hasibuan, Mardia, Rangkuti dan Batubara.
Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan daerah Hutasiantar terdiri dari: sebelah timur berbatasan dengan Gunung Merapi (Kecamatan Lembah Sorik Merapi sekarang), sebelah barat berbatasan dengan Panyabungan Tonga, sebelah selatan sungai Aek Parlampungan dan sebelah utara berbatasan dengan sungai Aek Pohon.
Setelah Indonesia merdeka dan sumatera telah terbagi ke dalam beberapa wilayah propinsi. Maka yang semula adalah daerah Tapian Na Uli bagian selatan di pulau Sumatera dibentuklah menjadi Kabupaten Tapanuli Selatan. Hutasiantar adalah salah satu desa di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Tapanuli Selatan, dengan berobahnya sistem pemerintahan maka wilayah Hutasiantarpun menjadi diperkecil, yaitu: sebelah timur berbatasan dengan Desa Siobon, sebelah barat berbatasan dengan Desa Kayujati dan Panyabungan Jae, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sigalapang Julu dan sebelah utara berbatasan dengan Desa Darussalam (Pagaran Sigatal).
Pada tahun 2006 setelah beberapa tahun terbentuk Kabupaten Mandailing Natal maka Desa Hutasiantar dibentuk menjadi Kelurahan Kotasiantar dan yang pertama sekali menjadi Lurah adalah Pauzir Nasution.











B. Kondisi Penduduk Kelurahan Kotasiantar
Baginda Mangaraja Enda, generasi III Dinasti Nasution, mempunyai tiga orang isteri yang melahirkan raja-raja Mandailing. Isteri pertama boru Lubis dari Roburan yang melahirkan putera mahkota Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan. Baginda Mangaraja Enda menobatkan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan menjadi raja di Hutasiantar dengan kedudukan yang sama dengan dirinya.
Masa Baginda Mangaraja Enda inilah Sutan Perampuan Padang Garugur dikalahkan perang. Adapun perang ini asalnya, dari seorang budak Baginda Mangaraja Enda bernama ompu ni Mangarung terbunuh di Lumban Kuajan (Surumatinggi Ankola Jae) oleh Raja Bengkas, saudara dari Sutan Perampuan.
Dalam perang ini, adalah 4 raja-raja serikat melawan Baginda; yaitu, Sutan Perampuan Padang Garugur, Sutan Mendeda Huta Bargot, Raja Gumanti Porang Pidoli Dolok, Raja Sordang Nagori Pidoli Lombang, lagi dibantu seorang panglima yang amat berani, Baruang sodang-dangon namanya, orang dari Mura Tais Angkola Jae.
Pada peperangan ini, menanglah Baginda Mengaraja Enda, oleh kerena Baruang Sodang-dangon, panglima yang tersebut di atas berhianat dan juga oleh kerena kegagahan seorang putera Baginda yang bernama Sutan Kumala Sang Yang di Pertuan Raja Hutasiantar.
Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar menobatkan tiga orang puteranya menjadi raja, masing-masing Baginda Soalohon raja di Pidoli Lombang, Batara Guru raja di Gunungtua, dan Mangaraja Mandailing raja di Pidoli Dolok.
Penobatan tiga putera Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar itu dilakukan menyusul pemberontakan yang dilancarkan raja-raja di tiga daerah terhadap Baginda Mangaraja Enda. Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar berhasil memadamkan pemberontakan terhadap ayahandanya itu. Sementara itu raja-raja yang berontak eksodus bersama sebagian rakyatnya ke daerah pantai dan pedalaman Pasaman.
Ada tiga tokoh penting dalam generasi XI Dinasti Nasution. Satu di antaranya adalah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar, yang biasa disingkat menjadi Yang Dipertuan. Tokoh ini dikenal sebagai raja ulama yang namanya banyak disebutkan oleh Multatuli di dalam karyanya Max Havelaar. Belanda menjulukinya Primaat Mandailing. Yang Dipertuan membantu Compeni melawan pasukan Paderi. Tokoh inilah yang bekerjasama dengan Asisten Residen Mandailing Angkola 1848-1857, Alexander Philippus Godon (1816-1899), merancang dan membangun mega proyek jalan ekonomi dari Panyabungan ke pelabuhan Natal sepanjang 90 kilometer.
Dalam perjalanan sejarah kerajaan di Mandailing, pihak kerajaan Hutasiantar memiliki sifat terbuka dengan pihak luar dalam hal membangun masyarakat banyak. Sutan Kumala Sang yang Dipertuan Inilah yang paling berjasa membangun Hutasiantar dengan berbagai kebijakannya antara lain:
1. Memberikan tanah untuk tempat tinggal dan bercocok tanam kepada marga-marga lain yang meminta.
2. Membuat Gadu-gadu ni saba (pematang sawah) dengan ukuran besar sehingga orang dan pedati dapat melewatinya.
3. Mengatur susunan rumah sehingga tertata rapi sampai sekarang (seperti komplek perumahan di abad modern).
4. Membuat saluran air di tiap gang dan sampai sekarang masih dapat ditemukan.
5. Membuat saluran air dari hulu sungai ke Mesjid (Mesjid Raya Darussalam sekarang).
6. Menetapkan standar pesta pernikahan, hanya dengan menyembelih seekor kerbau agar dibolehkan memakai Ampu dan Bulang (pakaian adat Mandailing Godang), yang sering disebut dengan istilah mangadati.
Sang Yang Dipertuan sangat dicintai oleh rakyat Hutasiantar sehingga rakyatnya sangat mengagumi dan patuh atas perintah dari pihak kerajaan.
Pada saat pemerintahan Desa, susunan rumah-rumah terebut masih tersusun rapi dipimpin oleh seorang Kepala Desa, yang terdiri dalam lima (5) lingkungan dengan dipimpin masing-masing Ketua Banjar (lingkungan) yaitu:
1. Banjar Kayu Ara
2. Banjar Silangit
3. Banjar Borotan
4. Banjar Bolak
5. Banjar Pagur
Namun, setelah diresmikan menjadi Kelurahan Kotasiantar maka pemerintahanpun berobah yang semula dipimpin oleh Kepala Desa dengan cara yang demokratis, dipilih langsung oleh masyarakat Hutasiantar berobah menjadi pimpinan yang dipilih dan ditunjuk oleh Pemerintah Daerah. Namun, sistem jabatan dalam daerah Kelurahanpun diperluas tapi, berbeda dengan daerah kelurahan lain. Pada awalnya terdiri dari lima banjar atau lingkungan menjadi masing-masing lingkungan dibagi dua dan hasilnya menjadi sepuluh lingkungan.
Penduduk Kelurahan Kotasiantar saat ini adalah sebanyak 1.348 kk dengan masing-masing rata-rata per banjar atau lingkungan sebanyak 150 kk dan yang paling sedikit adalah lingkungan Banjar Bolak, kurang dari 150 kk. Kepadatan jumlah penduduk adalah sekitar 6.740 jiwa, hal ini hanya dapat dilihat dari angka-angka pendataan sebelum Pemilu Legislatif 2009 yang lalu.

a. Pendidikan
Tokoh penting dalam Dinasty Nasution Setelah Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar adalah Sati Nasution gelar Sutan Iskandar ialah Willem Iskander, yang lahir di Pidoli Lombang pada bulan Maret 1840 di Pidoli Lombang, Mandailing Godang. Ibunya Si Anggur boru Lubis dari Rao-rao dan ayahnya Raja Tinating, Raja Pidoli Lombang.
Pada usia 13 tahun, 1853, Sati masuk sekolah rendah dua tahun yang didirikan Alexander Philippus Godon di Panyabungan. Begitu lulus, 1855, Sati diangkat menjadi guru di sekolahnya. Barangkali Willem Iskander lah guru formal termuda, 15 tahun, dalam sejarah pendidikan Indonesia. Pada saat yang sama ia juga diangkat oleh Godon menjadi juru tulis bumiputera (adjunct inlandsch schrijfer) di kantor Asisten Residen Mandailing Angkola di Panyabungan. Jabatan guru dan juru tulis itu dijabatnya dua tahun, menggantikan Haji Nawawi yang berasal dari Natal, sampai menjelang keberangkatannya ke Negeri Belanda bersama Godon, Februari 1857.
Nama Sati Nasution gelar Sutan Iskandar adalah nama yang dicantumkan di dalam teks Acte van Bekenheid. Nama Willem Iskander diberikan kepadanya ketika dia masuk Kristen di Arnhem pada tahun 1858, setahun sebelum ia belajar di Oefenschool di Amsterdam. Seterusnya, nama Willem Iskander dipakainya di dalam karyanya, surat-surat, beslit, piagam, surat nikah dll.
Setelah Willem Iskander memperoleh ijazah guru bantu dari Oefenschool pimpinan D. Hekker Jr. di Amsterdam, ia bertolak dari Bandar Amsterdam dengan kapal Petronella Catarina pada tanggal 2 Juli 1861. Setibanya di Batavia pada bulan Desember 1861, Willem Iskander menghadap Gubernur Jenderal, Mr. Ludolf Anne Jan Wilt Baron Sloet van den Beele.
Willem Iskander mengutarakan maksudnya mendirikan sekolah guru di Mandailing, dan memohon bantuan Gubernur Jenderal agar cita-citanya itu terlaksana. Gubernur Jenderal Gubernur Pantai Barat Sumatera ketika itu, Van den Bosche, agar membantu Willem Iskander. Acara pertama Willem Iskander ketika tiba di Padang, adalah menghadap Van den Bosche untuk menyerahkan surat Gubernur Jenderal, sekaligus melaporkan dialognya dengan Gubernur Jenderal di Batavia.
Dalam perjalanan kembali ke Mandailing melalui pelabuhan Natal, Willem Iskander berlayar bersama Asisten Residen Mandailing Angkola ketika itu, Jellinghaus, yang sedang berada di Padang. Mereka singgah dua hari di rumah kerabat Willem Iskander, Tuanku Natal. Setelah Willem Iskander tiba kembali di Mandailing pada awal 1862, ia melakukan persiapan pendirian sekolah guru di Mandailing. Tempat yang ia pilih adalah Tanobato, 526 meter di atas permukaan laut, desa yang ketika itu berhawa sejuk rata-rata 22°C, berada di pinggir jalan ekonomi ke pelabuhan Natal. Bangunan sekolah pun didirikan bersama masyarakat setempat. Bangunan empat ruangan, ialah tiga ruang kelas, satu tempat tinggal Willem Iskander. Bahan bangunan itu terbuat dari kayu, bambu dan atap daun rumbia. Ada dua bangunan lagi di sebelah gedung sekolah ini, ialah Gudang Kopi (Pakhuis) dan Pasanggarahan.
Nama (sesuai EYD) lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato dengan posisi mereka di dalam masyarakat Panyabungan:
1. Jabarani, guru kepala di Panyabungan dan Tanobato.
2. Si Brahim gelar Sutan Mangayang, guru di Panyabungan.
3. Si Dagar, guru di Panyabungan.
Ada sebagian murid-murid Willem Iskander yang berasal dari Keturunan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Hutasiantar mengikuti jejaknya sebagai pengarang, penerjemah dan penyadur. Nama-nama mereka (sesuai EYD) dan judul karya mereka adalah, sbb.:
1. Raja Laut, Barita Sipaingot – Batavia, 1873.
2. Mangaraja Gunung Pandapotan, On Ma Sada Parsipodaan Toe Parbinotoan Taporan Parsapoeloean – Batavia, 1885.
3. Mangaraja Gunung Pandapotan, Parsipodaan Taringot Toe Parbinotoan Tano On– Batavia, 1884.
Melihat hal peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan oleh Willem Iskander di Tanobato maka Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan mendirikan sekolah dengan fasilitas yang sangat sederhana dekat kampung Padang Mardia, sistem belajar waktu itu memakai agong (arang kayu) maka sekolah itupun disebut orang dengan sekolah Agong. Berhubung Hutasiantar adalah Kepala Kuria (pusat pemerintahan) maka orang-orang yang berprestasi di bidang pendidikan didatangkan ke Hutasiantar, seperti:
1. Raja Laut, murid Willem Iskander.
2. Raja Gunung, lulusan Kweekschool voor Inlandsche Onderwijzers Tanobato juga.
Pihak Bagas Godang (kerajaan) Hutasiantar belajar dan sekolah di Hutasiantar, Pidoli Lombang, Panyabungan dan Tanobato bagi mereka yang mempunyai dana yang cukup.
Dalam sektor pendidikan dapat ditemukan dari data yang ada pada Kelurahan, tercatat:
1. Sekolah Dasar (SD), 2 unit gedung: SD N XI dan SD Inpres.
2. Satu sekolah Taman Kanak-kanak (TK) Darussalam.
3. Dua sekolah Taman Pendidikan Al-Qur’an
4. Satu Madrasah Diniyah Awaliyah (MDA)
Ada beberapa buku karangan Willem Iskander yang dibaca di sekolah-sekolah rakyat Mandailing pada saat sebelum Proklamasi kemerdekaan, yaitu:
1. Si Hendrik Na Denggan Roa
Buku ini merupakan terjemahan dari De Brave Hendrik, buku bacaan anak-anak yang paling popular di Belanda pada masa itu. Terjemahan ini diterbitkan di Padang pada tahun 1865. Isi buku tentang etika untuk anak-anak dalam pergaulan sehari-hari.
2. Barita Na Marragam
Bacaan anak-anak tentang budi pekerti, merupakan saduran dari karya J.R.P.F. Gongrijp, diterbitkan di Batavia pada tahun 1868 dalam bahasa Mandailing aksara Latin.
3. Buku Basaon
Buku bacaan anak-anak terjemahan dalam bahasa Mandailing dari karya W.C. Thurn. Batavia, 1871 cetak ulang 1884.
4. Si Boeloes Boeloes Si Roemboek-Roemboek: Boekoe Basaon
Naskah Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk sudah sampai di Batavia pada tahun 1870. Pemerintah pusat mengeluarkan beslit (besluit), surat keputusan, nomor 27 bertarikh 23 Februari 1871 tentang penerbitan buku ini yang menetapkan tiras buku ini 3.015 dan sebanyak 50 eksemplar di antaranya harus disimpan di lembaga-lembaga dan perpustakaan. Pada tahun 1872 kumpulan prosa dan puisi ini diterbitkan di Batavia oleh ‘s Landsdrukkerij (Percetakan Negara) pada tahun 1872.
Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk pernah dilarang beredar pada tahun 1933. Buku ini memberikan pencerahan dalam berpikir, maka muncullah para pemuda intelektual Mandailing seperti, Buyung Siregar, Muhiddin Nasution, dan Abul Kosim. Adam Malik, Abdul Haris Nasution
5. Taringot di ragam-ragam ni parbinotoan dohot sinaloan ni alak Eropa
Buku ini diterjemahkan oleh Willem Iskander kemudian diterbitkan di Batavia pada tahun 1873. Isinya tentang teknologi Eropa pada abad XIX. Pengaruh buku ini sangat besar dalam memperluas cakrawala berpikir agar jangan terkurung bagaikan katak di bawah tempurung.
6. Soerat otoeran ni porkaro toe oehoeman di bagasan ni goebernemen ni Topi Pastima ni Soematara
Buku ini adalah terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku Reglement tot regeling van het regwezen in het gouvernement Sumatra’s Westkust, diterbitkan di Batavia, 1873, tebalnya 278 halaman. Isi buku ini tentang peraturan perundang-undangan yang mengatur ketertiban dan keadilan di dalam masyarakat yang berlaku di wilayah Pantai Barat Sumatera.
7. Ponggol 1a dohot Va ni Soerat otoeran toe pangotoeran saro oehoem dohot parenta ni oehoeman di Tano Indi Nederland
Buku ini merupakan terjemahan dalam bahasa dan aksara Mandailing dari buku 1ste en Vde Hoofdstuk van het Reglement op de regterlijke organisatie en het beleid der Justitie tentang administrasi peradilan, termasuk personalianya di tiap daerah. Buku ini diterbitkan di Batavia, 1874, tebalnya 115 halaman.

b. Agama
Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu Na Itom Na Robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni Jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat Si Pele Begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.
Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi anutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut Pasusur Begu atau Marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.
Amalan Si Pele Begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.
Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan Si Pele Begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menyaring amalan dan perbuatan dari zaman Na Itom Na Robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam
Masa masuknya Islam sebelum serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing Maso Silom Na Itom (masa Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam dianut orang Mandailing secara bercampur aduk dengan Pele Begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu berlaku tidak diketahui dengan pasti. Perobahan besar berlaku dengan serbuan Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa yang dijuluk oleh orang Mandailing sebagai Silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni "satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".
Dengan serbuan Kaum Paderi itu maka bergantilah Maso Silom Na Lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut orang Mandailing Maso Silom Na Bontar (masa Islam putih) atau Maso Silom Bonjol (masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap) pakaian penentang-penentang Paderi.
Golongan Paderi yang fanatik berusaha keras tapi gagal untuk memaksakan Islam kepada orang-orang suku Batak dengan menggunakan pedang, menyebabkan negeri itu terbengkalai dan banyak orang mati terbunuh, tetapi tindakan kekerasan ini tidak berhasil memengkan agama Islam. Namun, ketika pemerintah Kolonial Belanda memadamkan peperangan Paderi dan menguasai daerah Batak sebelah selatan, maka Islam mulai berkembang dengan cara damai, terutama berkat usaha da’wah dari pegawai pamong praja yang terdiri dari arang-orang Islam Melayu, tetapi juga melalui pengaruh para pedagang yang diikuti oleh para haji dan guru-guru lainnya.
Adalah suatu kenyataan yang menarik bahwa suku batak yang selama berabad-abad dengan gigih mempertahankan diri untuk tidak terpengaruh oleh islam kendati mereka telah dikelilingi dari segala arah oleh penduduk Islam tang fanatik, Aceh di sebelah utara dan Melayu di sebelah timur dan selatan, akhirnya dalam beberapa tahun belakangan begitu antusias menyambut islam melalui usaha-usaha damai.
Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan Raja Hutasiantar sampai generasi sesudahnya, para ulama didatangkan dari daerah luar dan raja memberikan tanah untuk tinggal dan bercocok tanam, antara lain:
1. Haji Muhammad Sa’id Nasution, mengajar dibidang Al-Qur’an
2. Syekh Abdul Fatah (w. 1861), mengajar Tariqhat sekaligus menjadi Tabib
3. Haji Muhammad Syarif Rangkuti, mengajar dalam bidang Hadis
4. Haji Muhammad Ya’kub (kampung Bargot), mengajar di bidang akhlaq dan Tasauf.
5. Syekh Abdul Qadir Al-Mandili jika ia datang dari Makkah dan anaknya Tuan Ja’far, mengajar dibidang fiqh atau hukum Islam mazhab Syafi’i.
Dari empat ulama di atas, yang dengan keras menentang kebatilan, khurafat, takhayul dan bid’ah adalah Haji Muhammad Syarif Rangkuti (yang mengajar Hadis) sehingga pengajian yang ia adakan tidak terlalu diminati oleh masyarakat. Setelah beliau meninggal, anak-anak dan murid-muridnyalah yang di kemudian hari bergabung dengan organisasi Muhammadiyah. Karena lebih dahulu muncul bentuk pemahamannya dari pada organisasinya membuat masyarakat menilai itu adalah salah satu bentuk paham dalam Islam di luar mazhab.
Beberapa perguruan pun kelak muncul di beberapa tempat di Mandailing. Perguruan yang paling besar adalah Madrasah Musthofawiyah di Purba Baru yang didirikan oleh Syekh Musthofa Husein pada tahun 1915. Madrasah ini merupakan warisan para ulama yang sangat besar peranannya dalam dakwah Islamiyah. Santrinya kini tidak kurang dari 8.000 orang yang datang dari berbagai penjuru Sumatera Utara, dan tentu saja juga dari Pasaman, bahkan dari Malaysia. Dua orang tokoh nasional, Nuddin Lubis dan Aminuddin Aziz Pulungan, adalah alumni madrasah ini.
Pemandangan yang menakjubkan dapat disaksikan pada menjelang subuh di Purba Baru, ketika ribuan santri berbondong-bondong menuju masjid untuk menunaikan shalat subuh berjamaah. Pemandangan seperti ini sukar dicari tandingannya di Sumatera Utara, bahkan mungkin di Sumatera. Kini ada puluhan pesantren di seluruh Mandailing, ditambah lagi dengan Sekolah Tinggi Agama Islam Madina (STAIM) dan madrasah mulai dari tingkat Ibtidaiyah, Tsanawiyah sampai tingkat Aliyah baik negeri maupun swasta.
Dalam setiap Banjar atau lingkungan memiliki kelompok wirid pengajian dengan mendatangkan seorang guru atau Al-Ustadz yang mengajar di Musthafawiyah atau lulusan Musthafawiyah Purba Baru. Masyarakat Kotasiantarpun sering membanding-bandingkan pendapat dengan pendapat para ulama terdahulu yang pernah hidup di zaman dahulu.


c. Sosial Ekonomi
Menurut cerita orang-orang tua dahulu, kampung tertua di daerah Mandailing adalah Huta Bargot dan Ranto Natas, kedua daerah itu adalah di atas bukit. Orang yang hidup pada zaman dahulu hanya dapat bertahan hidup di atas bukit dengan penghidupan bercocok tanam, seperti, pisang, jagung, ubi, dll. Persawahan baru muncul ketika orang-orang cina dengan membuat parit-parit kecil untuk mengairi lahan mereka. Populasi Cina semakin bertambah adalah pada tahun 1416 ketika Laksamana Haji Sam Po Bo medirikan Pelabuhan Sing Kwang (=Tanah Baru= Singkuang sekarang), maka orang-orang cinapun banyak mendarat di Muara Batang Gadis. Dengan mengetahui hal itu masyarakat yang di bukit-bukitpun turun ke dataran untuk bersawah. Orang-orang marga Rangkuti turunlah dari Ranto Natas ke kampung Pagur dan dari Pagur ke kampung Bargot atau Kota Siantar sekarang. Tempat tinggal mereka menumpuk dalam satu lingkungan yang disebut Banjar Pagur.
Menjadi petani dengan menggarap sawah adalah mata pencarian masyarakat Kota Siantar dari zaman dahulu sampai sekarang. Pada masa sebelum merdeka dan beberapa tahun setelah merdeka, gabah yang dihasilkan dari tiapa panen tidak dijual kepada orang lain. Gabah itulah yang diolah menjadi makanan selama setahun.
Di samping itu, masyarakat secara turun temurun juga telah mencari duit dengan menderes pohon karet (mangguris hapea). Di zaman susah dahulu juga dapat dimanfaatkan menjadi minyak lampu. Namun, ketika minyak tanah sudah mudah didapat maka hasil pohon karetpun dijual kepada orang lain (toke). Kedua usaha inilah yang menjadi mata pencarian pokok masyarakat di Kota Siantar.
Pada masa pemerintahan Sutan Kumala Sang Yang Dipertuan raja Hutasiantar, di sekitar balai rapat adat adalah pusat tempay keramaian atau yang disebut halaman bolak (tanah lapang). Namun, setelah proklamasi tanah tersebut dijadikan pasar tradisional tempat transaksi penjualan sayur-sayuran dan perlengkapan rumah tangga lainnya yang buka dan mulai rami adalah pada pagi hari atau sekitar jam 06:00 WIB (pagi hari) dan berakhir pada siang hari. Namun, ketika pemerintahan desa berobah menjadi Kelurahan maka pasar tradisional terebut dipindahkan ke samping tanah adat di depan kantor Lurah Kota Siantar sampai sekarang.
Dengan pindahnya pasar tersebut, maka barang yang diperjual belikan menjadi lebih lengkap dengan datangnya penduduk luar daerah berjualan ke pasar terebut. Setiap pedagang yang berjualan di pasar ini diwajibkan membayar uang ongkos kepada pihak bagas godang atau keturunan raja-raja yang hidup masa sekarang. Pasar ini jugalah, masyarakat berpaham Muhammadiyah dilarang berjualan.


d. Adat
Istana raja yang dinamakan Sopo Sio Dalam Mangadong atau Bagas Godang dan balai sidang adat yang dinamakan Sopo Sio Rancang Magodang atau Sopo Godang.
Kedua bangunan adat tersebut bukan hanya penting bagi masyarakat Mandailing dari segi penggunaan praktisnya saja. Tetapi juga dari keberadaannya sebagai lambang status untuk menunjukkan kehormatan, kemuliaan dan kebesaran kelompok masyarakat atau komunitas di tempat kedua bangunan itu berada. Artinya jika di satu tempat terdapat bangunan Bagas Godang dan Sopo Godang, itu menandakan bahwa tempat tersebut merupakan pusat pemerintahan Huta atua Banua, yang sekaligus berarti bahwa di tempat tersebut telah diakui berdirinya satu kerajaan dengan pemerintahan yang otonom.
Bagian depan dan bagian belakang dari atap kedua bangunan tersebut yang dinamakan bindu matoga-matogu atau tutup ari dihiasi dengan ornamen tiga warna (putih, merah dan hitam) yang disebut bolang. Setiap bagian dari ornamen tersebut mengandung makna perlambang. Misalnya bagiannya yang berupa garis-garis tegak lurus yang disebut bona bulu melambangkan bahwa di tempat tersebut berdiri satu kerajaan yang marrungga soit marranting. Yaitu kerajaan yang telah mempunyai kesatuan wilayah kekuasaan atau kesatuan teritorial, mempunyai lembaga pemerintahan Namora Natoras, mempunyai Datu, Sibaso dan Ulu Balang serta raja yang mengepalai pemerintahan.
Bagian dari ornamen yang berbentuk tiga segi yang disebut bindu atau pusuk robung, melambangkan sistem sosial Dalian Natolu yang dianut oleh masyarakat setempat.
Ornamen yang diterangkan pada tutup ari bagas godang dan sopo godang berupa garis-garis geometris (garis lurus) kecuali yang menggambarkan benda-benda alam, seperti matahari, bulan dan bintang serta bunga. Fungsi utama dari ornamen tersebut bukan sekadar sebagai hiasan, tetapi berfungsi simbolik untuk menunjukkan banyak hal yang berkaitan dengan nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat Mandailing.
Bagian-bagian dari bangunan bagas godang diberi nama juga mengandung makna simbolik. Misalnya tangga bagas godang dinamakan tangga sibingkang bayo, yang artinya ialah tangga sipengangkat orang. Maknanya ialah bahwa orang yang menaiki tangga istana raja akan bertambah kemuliaannya. Pintu bagas godang dinamakan pintu gaja manyongkir, yang artinya ialah pintu gajah menjerit. Maknanya ialah bahwa pintu istana raja senantiasa terbuka untuk dimasuki oleh rakyat.
Bangunan sopo godang (balai sidang adat) tidak berdinding. Keadaannya yang demikian itu melambangkan pemerintahan yang harus dijalankan secara demokratis. Penduduk atau rakyat harus dapat dengan bebas dan langsung menyaksikan persidangan yang dilakukan oleh Namora Natoras dan raja di balai sidang tersebut dan sekaligus dapat pula mendengar apa yang mereka bicarakan dalam persidangan.
Tiang-tiang sopo godang yang terbuat dari berbentuk segi delapan yang disebut tarah salapan. Keadaannya yang demikian itu menandakan bahwa pembangunan sopo godang sebagai balai sidang adat dikerjakan secara gotong royong oleh penduduk dari delapan penjuru mata angin.
Aspek arsitektur tradisional Mandailing juga digunakan untuk menunjukkan atau melambangkan status sosial warga masyarakat. Contohnya ialah jumlah anak tangga rumah tempat tinggal penduduk. Jika anak tangga rumah jumlahnya genap, keadaan itu menandakan bahwa penghuni rumah yang bersangkutan adalah golongan hamba. Demikian pula halnya dengan rumah yang daun jendelanya dibuka arah keluar. Bentuk atap rumah juga menunjukkan status sosial orang yang menempatinya. Rumah yang atapnya menggunakan gaya yang disebut saro cino, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut punya hubungan keluarga dengan raja dan termasuk dalam golongan bangsawan atau namora-mora. Rumah-rumah tempat tinggal yang bagian depan dan bagian belakang atapnya dihiasi dengan ornamen yang dinamakan bolang, menandakan bahwa penghuni rumah tersebut adalah kerabat dekat dari raja dan termasuk golongan bangsawan.
Bangunan bagas godang, sopo godang dan rumah penduduk di Mandailing berbentuk rumah panggung dengan menggunakan banyak tiang. Tiang-tiang bangunan yang terbuat dari kayu biasanya ditegakkan di atas batu ceper berukuran relatif besar. Penggunaan batu sebagai landasan tiang-tiang bangunan merupakan bagian dari teknik arsitektuk tradisional yang digunakan oleh orang Mandailing untuk anti goncangan gempa yang dapat meruntuhkan bangunan.
Kalau misalnya terjadi gempa, goncangannya yang kuat tidak mudah merubuhkan bangunan karena tiang-tiangnya tidak langsung tercecah atau terbenam ke tanah. Batu-batu ceper yang digunakan sebagai landasan tiang-tiang bangunan sampai batas tertentu dapat meredam sebagian goncangan gempa dan menyelamatkan bangunan dari keruntuhan yang tiba-tiba.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam upacara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe Selendang Istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Horja adalah puncak aktualisasi rasa holong yang diungkapkan dengan kata-kata dan perbuatan. Horja secara harfiah adalah kerja. Namun konsep secara hermenetik, lebih bermakna daripada pengertian harfiah kerja. Horja diartikan secara lahir dan batin. Aktivitas horja adalah aktivitas di mana sedang berlangsung suatu upacara pesta karena ada anugerah hidup. Perkawinan adalah horja, kelahiran anak adalah horja, membangun dan menempati rumah baru adalah horja, kerja gotong royong adalah horja. Seluruh tatanan Dalihan Na Tolu mengambil bagian dalam horja. Menyukseskan horja adalah hak sekaligus kewajiban. Bahkan warga masyarakat yang tidak diikut sertakan di dalam menyukseskan horja akan menuntut haknya untuk ikut, meskipun keikutsertaan itu sesungguhnya merupakan pengorbanan. Namun pengorbanan dalam menyukseskan horja adalah pengorbanan yang tulus ikhlas (Harahap, 1987b:6). Jadi, peristiwa horja adalah peluang untuk berdakwah yang paling efektif.
Setiap Huta mempunyai sebidang tanah perkuburan. Kebiasaannya letaknya di luar Huta, tapi masih mudah didatangi. Selain daripada tanah perkuburan, di sekitar Huta biasanya terdapat pula tanah perkuburan makam-makam leluhur yang mula-mula membuka Huta tertentu. Pada masa lampau, walaupun tidak dengan cara-cara yang khusus dan istimewa, tempat makam leluhur dihormati oleh penduduk Huta. Meskipun tidak merupakan suatu tradisi yang mengikut, tetapi kalau Raja atau anggota keluarga Raja meninggal dunia, mereka dikebumikan di pemakaman leluhur.
Di tanah-tanah perkuburan kuno yang dipanggil lobu atau huta lobu banyak terdapat patung batu. Dalam bahasa Mandailing, patung ini disebut batu tagor, yang menurut kepercayaan, dapat memberi tanda (isyarat) dengan suara gemuruh apabila akan terjadi sesuatu hal kepada keluarga raja. Selain batu tagor terdapat patung yang dinamakan batu pangulu balang yang biasanya terdapat di sudut desa, yang menurut kepercayaan, menjaga desa dan akan memberi pertanda apabila ada sesuatu yang akan menganggu penduduk. Patung-patung batu tagor dan batu panghulu balang, yang diakui oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan nenek moyang mereka kelihatannya sama sekali berbeda dari patung-patung peninggalan zaman Hindu dan Buddha.
Tempat yang bernama Padang Mardia (Kota Siantar sekarang), terletak lebih kurang 2 km dari pasar Panyabungan, dahulunya terdapat banyak patung-patung batu dan kuburan kuno. Patung batu yang dahulunya banyak terdapat di tempat tersebut lama-kelamaan menjadi punah kerana dirusakkan oleh penduduk sekitarnya yang anti "berhala". Kini yang masih tersisa hanya beberapa kuburan kuno dan pecahan-pecahan patung batu.
Sekalipun, adat istiadat Hutasiantar telah banyak hilang dan telah banyak pula berobah, namun posisi sebagai pemangku adat tetap pungsi, seperti penjualan tanah wilayah kerajaan kepada pihak luar, pesta pernikahan, aturan tentang bermasyarakat. Salah satu contoh aturan yang dikeluarkannya terakhir ini adalah aturan tentang mengucilkan masyarakat yang bergabung dalam organisasi Muhammadiyah. Aturan itu adalah, putusnya hubungan kekerabatan dalam adat mandailing Marmora, Markahanggi dan Maranak Boru, yang telah ditananmkan oleh nenek moyang dahulu.

BACAAN RUJUKAN

Hamka, Antara Fakta dan Khayal "Tuanku Rao": Bantahan terhadap tulisan-tulisan Ir. Mangaraja Onggang Parlindungan dalam bukunya "Tuanku Rao". Jakarta : Bulan Bintang,1974– 363 hal.

Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak : Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Mandailing, Jakarta : Sanggar Willem Iskander, 1987– xiv, 241 p. – ISBN 979-8067-00-9

Basyral Hamidy Harahap, Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu, Jakarta, Sanggar Willem Iskander, 1993. xxxiii, 598 [60] hal. – (ISBN 979.8447-00-X).

Makalah pada Seminar Sehari Gerakan Kependidikan Willem Iskander, diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Sumatera Utara, Medan, 18 Januari 1996."Adat istiadat Mandailing: Pengaruh dan tantangan dalam gerakan kependidikan Willem Iskander.

Daoed Joesoef, "Willem Iskander: Guru yang Terlempar Jauh ke Masa Depannya". – Dalam: Nalar dan Naluri: 70 Tahun Daoed Joesoef. – Jakarta : CSIS. 1996– hal. 185-227 (ISBN 979-8026-44-6).

Makalah pada Sarasehan Masyarakat Mandailing di Jakarta, 12 Juli 1997, "Orientasi Pembangunan Mandailing: pelajaran dari sejarah, Jakarta : Pengurus HIKMA. 1997.

Pemkab Madina, Pemerintah Kabupaten Madina membangun masyarakat yang madani: suatu studi perbandingan. – Cet. 1. – Panyabungan : Pemkab Madina. 2004 – 424 [62] hal. – (ISBN 979-98376-0-X).

Dinas Pendidikan Madina, Fakta dan angka: Statistik pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Dinas Pendidikan Madina. 2005 – xii, 88 hal. – (ISBN 979-99704-0-7).

Pemkab Madina, Rakyat mendaulat Taman Nasional Batang Gadis, Panyabungan: Pemkab Madina. 2005 – xvi [16], 132 hal. – (ISBN 979-98376-1-8).

“Ulama dan Perubahan Sosial”. – Makalah pada peluncuran Tafsir Al Ahkam karya Syekh Abdul Halim Hasan Binjai, di Hotel Garuda Plaza, Medan, 17 Juni 2006. – 12 hal. 2006b

Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao. – Jakarta : Komunitas Bambu. 2007 – xiii, 303 hal. – ISBN 978-979-3731-16-2

Willem Iskander, Si Boeloes-Boeloes Si Roemboek-Roemboek. – Batavia : Landsdrukkerij. 1872

Basyral Hamidy Harahap. Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk: sebuah buku bacaan / yang ditulis oleh Willem Iskander ; diterjemahkan dari bahasa Mandailing ke dalam bahasa Indonesia, Jakarta : Campusiana. Cet. 1. – 1977 – 107 hal.

Basyral Hamidy Harahap, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / dengan pengantar dan terjemahan. Jakarta : Penrebit Puisi Indonesia. – Cet. 2. – 1987 – viii, 113 hal. – (Terbitan ke-44).

Basyral Hamidy Harahap, Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk : dwi bahasa / pengantar dan terjemahan, Jakarta : Sanggar Willem Iskander. oleh– Cet. 3. –2002 – xi, 109 hal. – (ISBN 979-8067-01-0).

Mangaraja Onggang Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao: Terror Agama Islam di Tanah Batak 1816-1833. – Djakarta : Tandjung Pengharapan. 1964 – 691 hal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar